Kekebalan kawanan Jepang terhadap COVID-19 mendekati 90 persen setelah hantaman gelombang omicron yang hampir melumpuhkan sistem kesehatan negara Asia Timur itu, dengan rekor kasus baru harian tertinggi sebanyak 255.534 pada 18 Agustus lalu.
Jakarta (Indonesia Window) – Tingkat kekebalan populasi Jepang terhadap COVID-19 telah mencapai sekitar 90 persen di wilayah populasi utama setelah gelombang omicron baru-baru ini, meskipun tingkat perlindungan itu kemungkinan akan berkurang dalam hitungan bulan, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada Selasa (27/9).
Tingkat yang disebut “kekebalan kawanan” itu mencerminkan perlindungan parsial yang diberikan dari infeksi alami dan vaksinasi, menurut Tokyo Foundation of Policy Research, yang memperkirakan tingkat tersebut untuk 12 prefektur terpadat di Jepang.
Orang-orang di Tokyo, Osaka, dan prefektur selatan Okinawa mendapatkan sebagian besar kekebalan mereka melalui penularan di tengah jumlah kasus yang tinggi di daerah-daerah itu, terutama selama gelombang infeksi ketujuh yang memuncak bulan lalu, para peneliti menemukan.
Sekitar 65 persen populasi Jepang telah menerima setidaknya satu suntikan vaksin COVID-19, dibandingkan dengan sekitar 33 persen di Amerika Serikat, berdasarkan data pemerintah.
Jepang pekan lalu mulai mendistribusikan suntikan booster yang diformulasikan untuk menargetkan strain virus omicron.
Jepang saat ini membutuhkan interval lima bulan untuk suntikan booster, meskipun itu mungkin terlalu lama untuk menawarkan perlindungan kepada kelompok lanjut usia dan rentan jika gelombang kedelapan yang diproyeksikan muncul menjelang akhir tahun, tulis para peneliti.
Gelombang ketujuh
Jepang mencatat lebih dari 6 juta kasus baru COVID-19 dalam sebulan terakhir (pertengahan Juli-Agustus), dengan lebih dari 200 kematian harian dilaporkan dari 11 hari hingga 18 Agustus lalu.
Lonjakan kasus yang dipicu oleh gelombang ketujuh wabah ini kian membebani sistem kesehatan negara itu.
Jepang mencatat rekor kasus harian tertinggi 255.534 kasus baru COVID-19 pada 18 Agustus, kali kedua jumlah kasus baru dalam satu hari melebihi angka 250.000 sejak pandemik melanda negara itu. Sebanyak 287 orang dilaporkan meninggal, sehingga total kematian menjadi 36.302.
Negeri Sakura melaporkan 1.395.301 kasus dalam sepekan dari 8 hingga 14 Agustus, mencatatkan rekor jumlah kasus baru tertinggi di dunia selama empat pekan berturut-turut, diikuti oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat, seperti dilansir media setempat Kyodo News mengutip pembaruan data virus corona mingguan terkini dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Banyak warga setempat yang mengalami infeksi ringan melakukan karantina di rumah, sedangkan mereka yang melaporkan gejala serius harus berjuang keras untuk dapat dirawat inap.
Menurut Kementerian Kesehatan Jepang, per 10 Agustus, lebih dari 1,54 juta orang yang terinfeksi di seluruh negara itu menjalani karantina mandiri di rumah, angka tertinggi sejak wabah COVID-19 merebak di Jepang.
Sementara itu, tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) rumah sakit di Jepang juga meningkat, menurut laporan lembaga penyiaran publik Jepang, NHK, yang mengutip statistik pemerintah bahwa per 15 Agustus, BOR pasien COVID-19 mencapai 91 persen di Prefektur Kanagawa; 80 persen di prefektur Okinawa, Aichi, dan Shiga; dan 70 persen di prefektur Fukuoka, Nagasaki, dan Shizuoka.
Pemerintah Metropolitan Tokyo pada 19 Agustus mengumumkan bahwa BOR COVID-19 di wilayahnya mencapai sekitar 60 persen, yang tampaknya tidak terlalu serius. Namun, banyak tenaga kesehatan setempat tertular atau menjadi kontak dekat pasien COVID-19, sehingga menyebabkan kurangnya tenaga kesehatan.
Masataka Inokuchi, Wakil Ketua Asosiasi Medis Metropolitan Tokyo, pada waktu yang sama mengungkapkan bahwa tingkat BOR COVID-19 di Tokyo sudah “mendekati batas maksimum.”
Selain itu, 14 institusi medis di Prefektur Kyoto, termasuk Rumah Sakit Universitas Kyoto, pada 19 Agustus, mengeluarkan pernyataan bersama yang menyebut bahwa pandemik telah mencapai tingkat yang sangat serius, dan tempat tidur untuk pasien COVID-19 di Prefektur Kyoto pada dasarnya penuh.
Pernyataan itu memperingatkan bahwa Prefektur Kyoto kini berada dalam kondisi keruntuhan sistem medis (medical collapse) di mana “nyawa yang seharusnya dapat ditolong tidak dapat diselamatkan.”
Pernyataan itu juga menyerukan agar masyarakat menghindari perjalanan yang nonesensial dan tidak bersifat darurat, serta terus waspada dan melakukan langkah pencegahan rutin. Pernyataan tersebut menambahkan pula bahwa infeksi virus corona baru “sama sekali bukan penyakit seperti flu biasa.”
Terlepas dari tingkat keparahan gelombang ketujuh dan melonjaknya jumlah kasus baru, pemerintah Jepang belum mengadopsi langkah-langkah pencegahan yang lebih ketat.
Liburan Obon (acara peringatan para pemeluk Buddha untuk memperingati kembalinya roh leluhur ke dunia untuk mengunjungi kerabat mereka selama Obon, yakni 13-15 Agustus) juga mendatangkan arus besar wisatawan, yang menyebabkan lalu lintas di jalan raya padat, kereta cepat Shinkansen kembali dipenuhi penumpang, serta tingkat okupansi maskapai penerbangan domestik kembali ke sekitar 80 persen dari tingkat prapandemi COVID-19.
Laporan: Redaksi