Banner

Fokus Berita – Pemerintah diharapkan segera aksesi konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau

Diskusi terbatas Indonesia Institute for Social Development (IISD) bertajuk ‘Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) Agenda Pembangunan yang Dilupakan’, di Jakarta, Selasa (27/2/2024). (Foto: Spesial)

Aksesi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) adalah langkah konkret dalam melindungi kesehatan masyarakat dari dampak merokok dan paparan asap rokok.

 

Jakarta (Indonesia Window) – Lembaga Riset dan Advokasi Publik, Indonesia Institute for Social Development (IISD), terus mendorong pemerintah untuk segera mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), sebagai langkah konkret dalam melindungi kesehatan masyarakat dari dampak merokok dan paparan asap rokok.

“IISD akan mengambil bagian dalam mendorong kembali kesadaran pemerintah untuk mengaksesi FCTC  tersebut,” kata pembina IISD, Tien Sapartinah, dalam diskusi terbatas IISD bertajuk ‘Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) Agenda Pembangunan yang Dilupakan’, di Jakarta, Selasa (27/2).

Menurutnya, Indonesia dapat memperkuat upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat, meningkatkan kualitas hidup, dan mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045 secara holistik melalui ratifikasi FCTC ini.

Dia juga memaparkan, upaya Indonesia mengaksesi FCTC ini adalah dalam rangka semangat perlindungan untuk semua pada pengendalian tembakau di Tanah Air.

“Aksesi FCTC ini sebagai upaya memberikan perlindungan pengendalian tembakau dari hulu ke hilir. Pada prinsip ‘improvisasi’ dan ‘liability’ dalam FCTC, memungkinkan pendekatan perlindungan untuk semua atau Protection for All,” jelas Tien.

Senada dengan Tien, penasihat IISD Sudibyo Markus menegaskan, negara harus hadir dalam pengendalian tembakau dengan menganeksasi FCTC, untuk melindungi rakyatnya dan menjaga komitmen internasional.

“Pemerintah sebagai representasi negara yang wajib melindungi segenap masyarakat, harus lebih keras dan berpikir ulang dan ambil langkah cepat untuk meratifikasi/aksesi FCTC tersebut dan jangan terundur-undur lagi,” ujarnya.

Direktur Pogram IISD, Ahmad Fanani, menjelaskan, diskusi terbatas yang dihadiri tokoh dan aktivis pengendalian tembakau serta perwakilan lembaga pemerintah ini adalah bagian dari upaya mendorong aksesi FCTC.

“Diskusi ini bertujuan untuk memahami akselerasi ancaman konsumsi tembakau di Indonesia, berbagai hambatan dalam aksesi FCTC, serta berbagai langkah-langkah taktis dan strategis menuju aksesi FCTC,” jelasnya.

Fanani menambahkan, dengan meratifikasi FCTC, Indonesia dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk menangani masalah kesehatan serius yang disebabkan oleh konsumsi tembakau.

“Bahkan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) secara spesifik memberikan target penurunan prevalensi dan rekomendasi strategi untuk mencapainya, antara lain dengan penguatan regulasi, pembesaran PHW (Peringatan Kesehatan Bergambar), pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ke seluruh kabupaten dan kota dan pelarangan total iklan rokok. Namun, belum terealisasi sampai hari ini,” terangnya.

RPJMN 2020-2024 mentargetkan penurunan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen, namun berbagai data mengindikasikan target tersebut tampak jauh dari tercapai.

Dalam kesempatan itu, IISD juga memberikan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Penolakan ratifikasi/aksesi dengan dalih merugikan petani tidak memiliki dasar legal dan justru merugikan kepentingan nasional.
  2. Dalam tata niaga tembakau yang bersifat monopsoni, justru petani tembakau adalah pihak yang paling dirugikan dalam tata niaga tembakau.
  3. Dalam tata niaga tenbakau yang berbasis nikotin, seluruh mata rantai bisnis dilaksanakan melalui kebohongan publik untuk menutup-nutupi keberadaan nikotin yang sangat adiktif dan merusak kesehatan.
  4. Prinsip ‘improvisasi’ dan ‘liability’ dalam FCTC memungkinkan pendekatan perlindungan untuk semua atau Protection for All, berupa: pemberdayaan petani melalui UU HAM, UU Perlindungan Petani, UU Desa, UU Pemda, UU Ketenagakerjaan, dan UU sektoral lain, serta mengurangi impor tembakau.

Keterlibatan semua pihak

Tren konsumsi rokok di Indonesia meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir.

Pada 2005, total volume produksi rokok berkisar 235 miliar batang. Angka tersebut meningkat menjadi 279,4 miliar batang pada 2011, dan pada 2022 melonjak menjadi 323,9 miliar batang.

Data juga menunjukkan dalam rentang lima tahun terakhir produksi tembakau meningkat dari 195.350 ton pada 2018 menjadi 224.000 ton di tahun 2022, dan kembali naik menjadi 233.000 ton di tahun 2023.

Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan RI Dr. Benget Saragih, M. Epid, sangat mengharapkan agar aksesi FCTC dapat segera dilaksanakan agar masyarakat Indonesia dapat memperoleh hak untuk hidup sehat, produktif dan harmonis dengan lingkungannya, guna memenuhi kesinambungan pengembangan sumber daya manusia.

“Upaya ini juga dalam rangka mendukung RPJMN, dalam rangka menurunkan prevalensi perokok pemula. Kementerian kesehatan terus mendukung aksesi FCTC ini,” ujar Benget.

Menurutnya, masih ada kesempatan aksesi FCTC melalui Peraturan Presiden (Perpres) dalam sisa waktu pemerintahan saat ini. “Kita bisa mendorong menkes meminta kepada presiden agar dikeluarkan PP untuk mengaksesi FCTC,” tambahnya.

Ridwan Fauzi, selaku National Profesional Officer for Tobacco Free Initiative, WHO, mengatakan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga terus mendorong pemerintah Indonesia segera meratifikasi FCTC sebagai instrumen hukum yang komprehensif untuk mengendalikan tembakau.

“Aksesi FCTC diperlukan untuk memperkuat aturan yang telah ada mengenai pengendalian tembakau di Indonesia,” tegasnya.

Ridwan mengungkapkan kerugian tak menjadi anggota para pihak FCTC adalah Indonesia tak terlibat dalam semua proses pengambilan keputusan dalam merumuskan aturan pengendalian tembakau global.

“Tentu sebagai produsen tembakau ketiga terbesar di dunia tapi tak dilindungi, Indonesia kehilangan suara dan kesempatan dalam proses guideline aturan pengendalian tembakau pada FCTC ini,” ungkapnya.

Ridwan menjelaskan, saat ini sudah ada 183 Negara Pihak yang mengakseasi FCTC, baik melalui ratifikasi maupun aksesi. Hingga saat ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum mengaksesi FCTC. “Indonesia menjadi minoritas negara, termasuk dari delapan negara yang belum aksesi FCTC ini,” katanya.

Dia juga menekankan, FCTC tidak memberi dampak negatif dari segi ekonomi bagi negara para pihak.

“Saya kira tidak perlu menunggu pemerintah yang baru. Kita berharap ada legacy yang sangat besar bagi pemerintah saat ini untuk segera mengaksesi FCTC,” pungkasnya.

Rektor Universitas YARSI, Prof. dr. Fasli Jalal Sp. GK., Ph.D., mengatakan perlu peningkatan pemahaman masyarakat dan para pemangku kepentingan soal bahaya merokok dan produk tembakau lainnya, dalam rangka mendorong Indonesia segera mengaksesi FTCT.

“Saya juga mengusulkan upaya mendorong upaya aksesi FCTC ini juga disampaikan ke Forum Rektor,” ujarnya.

Prof. Fasli menekankan ancaman bonus demografi akan nyata jika pengendalian tembakau ini tidak diperhatikan. Anak-anak yang merokok sejak usia muda akan terancam berbagai penyakit akibat merokok di usia produktif mereka, karena penyakit akibat mengonsumsi rokok baru dirasakan oleh perokok dalam rentang 10-15 tahun kemudian.

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Prof. Dr. Seto Mulyadi, yang akrab disapa Kak Seto, menyatakan pihaknya mendukung penuh upaya mendorong pemerintah untuk segera mengaksesi FCTC ini sebagai upaya perlindungan anak

Kak Seto mencermati peminat rokok pada kalangan anak selalu mengalami peningkatan. Menurutnya, hal tersebut perlu segera dicegah karena anak-anak adalah generasi penerus bangsa, sehingga kita harus peduli terhadap masa depan mereka.

“Perlu kolaborasi semua pihak untuk menyuarakan upaya ini. LPAI tetap terus bersuara kembali menyuarakan penolakan rokok untuk melindungi anak-anak,” tegasnya.

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau merupakan perjanjian internasional kesehatan-masyarakat pertama sebagai hasil negosiasi 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO).

FCTC bertujuan untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi, melalui sebuah kerangka kerja untuk pengendalian tembakau.

Di tingkat internasional, FCTC didukung oleh Framework Convention Alliances yang merupakan aliansi dari 411 organisasi di 100 negara yang mendorong pemerintah dari berbagai negara, terutama anggota WHO, untuk melakukan negosiasi, ratifikasi dan implementasi FCTC.

Selain itu, amanat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (The Sustainable Development Goals/SDGs) dalam Goal 3a, nyaris kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah sebagai pembawa mandat dan komitmen bagi kesuksesan pelaksanaan keseluruhan program SDGs di Indonesia.

Bahkan Dewa Ekonomi dan Sosial PBB (Economic and Social Council/ECOSOC) telah memerintahkan Indonesia untuk memperhatikan aksesi dan pelaksanaannya di Indonesia sejak tahun 2014.

Kini sepuluh tahun sejak 2014, peringatan ECOSOC tersebut bagai angin lalu, walapun Indonesia pernah menduduki posisi sebagai Ketua G20 (2022-2023) dan Ketua ASEAN (2023).

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Banner

Iklan