Afghanistan memiliki ranjau aktif paling banyak di dunia, dengan sisa-sisa pertikaian sipil dan perang yang berkecamuk selama lebih dari empat dekade mengancam akan merenggut nyawa setiap harinya.
Kabul, Afghanistan (Xinhua/Indonesia Window) – Saat dunia memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional pada Selasa (3/12) untuk menyoroti hak-hak korban perang, warga Afghanistan yang cedera menyatakan kecaman mereka terhadap perang dan bahan peledak sebagai musuh manusia, seraya menyerukan perdamaian abadi di negara mereka yang hancur akibat perang.
“Saya benci ranjau dan benda-benda yang mudah meledak. Kepala saya pening setiap kali mendengar kata ranjau,” ujar Ruqia, seorang gadis Afghanistan berusia 15 tahun yang kehilangan salah satu kakinya akibat ledakan ranjau darat, kepada Xinhua di sebuah pusat rehabilitasi yang dikelola oleh Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) di Kabul.
Sambil mengungkapkan kebenciannya terhadap perang dan bahan peledak, Ruqia menceritakan kejadian traumatis yang telah mengubah hidupnya selamanya.
“Waktu itu, saya berusia lima tahun dan sedang dalam perjalanan dari Provinsi Ghor menuju Kabul ketika kendaraan kami menginjak ranjau darat. Ledakan itu membuat kaki saya putus,” kenang Ruqia.
Afghanistan masih menjadi salah satu negara yang memiliki paling banyak ranjau aktif di dunia, dengan sisa-sisa pertikaian sipil dan perang yang berkecamuk selama lebih dari empat dekade mengancam akan merenggut nyawa setiap harinya. Anak-anak sering kali menjadi korban dari bahan-bahan peledak yang mematikan tersebut, yang terus mencederai dan membunuh tanpa pandang bulu.
Meski didera keterbatasan fisik, Ruqia memimpikan masa depan yang lebih cerah. “Saya ingin menjadi seorang dokter agar dapat membantu korban ranjau darat lain,” ujarnya. Menggunakan kaki palsu yang disediakan ICRC, dia mengungkapkan kesedihannya karena tidak dapat bermain dengan teman-temannya di luar ruangan.
Seperti Ruqia, Amanullah merupakan korban ranjau lainnya yang sering mengunjungi pusat rehabilitasi kelolaan ICRC di Kabul itu untuk memeriksakan kondisi kesehatannya dan memperbaiki kaki palsunya.
Mengenang musibah yang dialaminya, pria malang itu mengatakan bahwa pada 2001, ketika dirinya masih pelajar di Jalalabad, sebuah ranjau meledak dan membuat kakinya putus ketika hendak berwudu. “Perang tidak memberikan apa-apa selain kehancuran. Perang menghancurkan kehidupan, membuat orang menjadi cacat dan menghancurkan negara ini,” keluh Amanullah.
Afghanistan yang hancur oleh perang merupakan salah satu negara yang paling banyak terkontaminasi ranjau. “Sekitar 15.000 hingga 16.000 orang penyandang disabilitas mendaftarkan diri kepada kami setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.500 di antaranya adalah penyandang disabilitas akibat perang,” kata Najmudin Hilal, kepala rumah sakit ICRC di Kabul, kepada Xinhua di kantornya.
Sekitar 80 persen dari para penyandang disabilitas akibat perang itu terkena dampak ranjau dan kehilangan tangan atau kaki akibat ledakan ranjau, kata Najmudin Hilal.
Hilal sendiri juga merupakan korban ledakan ranjau. Dia menggambarkan ranjau darat sebagai “musuh yang sedang tidur”. Hilal berkata bahwa dirinya berusia 18 tahun ketika sebuah ranjau mengakibatkan kakinya putus, membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama setahun untuk memulihkan diri.
“Di Kabul saja, kami merawat 200 sampai 250 pasien setiap harinya, dan kami telah mencatat lebih dari 150.000 penyandang disabilitas di Kabul sejauh ini. Kami memiliki tujuh pusat rehabilitasi di Afghanistan, dengan lebih dari 268.000 penyandang disabilitas yang terdaftar,” tutur Hilal, yang bergabung dengan ICRC pada 1988, kepada Xinhua.
Menurut United Nations Mine Action Service (UNMAS), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pembatasan ancaman ranjau dan bahan peledak, sekitar 45.300 warga sipil Afghanistan dilaporkan tewas atau terluka akibat ranjau darat dan bahan peledak sisa perang (explosive remnants of war/ERW) sejak 1989. Rata-rata bulanan korban sipil akibat bahan peledak di Afghanistan saat ini mencapai sekitar 50 orang. ERW dari bentrokan bersenjata menyumbangkan hampir 86 persen dari jumlah korban yang tercatat dari Januari 2023 hingga Agustus 2024. Pada periode yang sama, 89 persen lebih dari korban ERW adalah anak-anak.
Laporan: Redaksi