Perundingan perdamaian tidak langsung antara Israel dan Hamas mengalami pasang surut dalam beberapa bulan terakhir, dengan Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat bertindak sebagai mediator utama.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Setelah Hamas pada Selasa (17/12) mengumumkan bahwa kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan dengan sandera dapat dilakukan jika Israel berhenti memberlakukan persyaratan-persyaratan baru, seorang warga Palestina berusia 29 tahun, Bahaa al-Laqta, menyatakan harapannya untuk hidup damai setelah perang berakhir.
“Semua yang terjadi di Gaza menunjukkan bahwa kami tidak akan bisa hidup dengan damai, namun kami juga tidak memiliki kesempatan untuk mengubah keadaan, kami semua adalah warga sipil yang tidak bersalah,” ujar Laqta, seorang warga Palestina dari Gaza City yang saat ini mengungsi di tenda darurat di Kota Deir al-Balah, Gaza tengah.
“Kami harus membayar mahal untuk perang ini meski kami tidak terlibat dalam aktivitas militer apa pun melawan Israel. Kami berharap dapat hidup damai dengan warga Israel tanpa harus terlibat dalam perang apa pun,” tambahnya.
Israel melancarkan serangan berskala besar terhadap Hamas di Jalur Gaza untuk membalas serangan Hamas di perbatasan Israel selatan pada 7 Oktober 2023, yang mengakibatkan sekitar 1.200 orang tewas dan sekitar 250 orang disandera.
Jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel yang masih berlangsung di Jalur Gaza bertambah menjadi 45.097 orang, demikian disampaikan otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza dalam sebuah pernyataan pada Rabu (18/12).
Sejauh ini, sekitar 80,5 persen wilayah Jalur Gaza berada di bawah perintah evakuasi yang masih aktif, tidak termasuk yang kemudian dibatalkan, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa.
Perundingan perdamaian tidak langsung antara Israel dan Hamas mengalami pasang surut dalam beberapa bulan terakhir, dengan Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat bertindak sebagai mediator utama.
Dalam beberapa pekan terakhir, negosiasi tidak langsung mengenai gencatan senjata di Gaza meraih momentum. Pada Selasa, Hamas menyebut perundingan gencatan senjata di Doha, Qatar, sebagai sesuatu yang “serius dan positif”.
“Terlepas dari perang berdarah dan situasi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan di Gaza, saya masih menyimpan harapan untuk menyaksikan gencatan senjata segera dan kembali menjalani kehidupan normal pada 2025,” kata Mohammed al-Habib, seorang warga Palestina yang mengungsi ke Deir al-Balah.
Ayah enam anak berusia 46 tahun ini terpaksa meninggalkan rumahnya di Kota Rafah, Gaza selatan, pada Mei lalu, saat tentara Israel menyerbu kota tersebut. Namun demikian, dia tetap optimistis dengan masa depan keluarganya.
“Ketika kami selamat dari serangan Israel, saya merasa kami sangat beruntung, dan itulah yang membuat saya optimistis bahwa kami akan selamat dari perang mengerikan saat ini,” tuturnya.
“Saya hanya berharap dapat melanjutkan hidup saya ketika saya kembali ke Rafah. Bahkan seandainya tentara telah menghancurkannya, kami dapat membangunnya kembali,” ujarnya.
Khalil al-Bardawil, seorang pria Palestina dari Beit Lahia di Gaza utara yang mengungsi ke Deir al-Balah, mengatakan bahwa dirinya menantikan kabar baik mengenai gencatan senjata antara Hamas dan Israel.
Dia berharap perundingan akan menghasilkan gencatan senjata, sehingga memungkinkan warga Gaza untuk melanjutkan kehidupan mereka.
“Saya kehilangan segalanya, rumah saya, pekerjaan saya, hidup saya, dan tiga anak saya. Namun saya ingin kembali ke kampung halaman saya dan hidup dengan damai,” imbuhnya.
Laporan: Redaksi