Banner

Feature – Perjuangan pengungsi Palestina bertahan hidup di tengah gencarnya serangan Israel di Gaza

Foto yang diabadikan pada 6 Oktober 2024 ini menunjukkan puing-puing bangunan yang hancur di Kota Jabalia, Jalur Gaza utara. (Xinhua/Mahmoud Zaki)

Seiring dengan berlarutnya perang yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun, harapan warga Gaza akan berakhirnya semua kematian, pengeboman, dan kehancuran kian memudar.

 

Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Ahmed Asaleia (45), seorang pria Palestina yang mengungsi dari Jabalia, Jalur Gaza utara, berhasil melarikan diri dari serangan Israel menuju kamp pengungsi Al-Shati di sebelah barat Gaza City.

“Saat ledakan terdengar dari berbagai arah di sekitar saya, saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan selamat bersama keluarga saya dan tetap hidup hingga saat ini,” kata ayah lima anak itu kepada Xinhua.

Selama 11 hari beruntun, tentara Israel melanjutkan operasi daratnya di Jabalia dan daerah sekitarnya. Penduduk setempat mengatakan pasukan Israel telah sepenuhnya mengisolasi wilayah utara, mengepung puluhan ribu keluarga tanpa makanan, air, dan obat-obatan.

“Kematian begitu dekat dengan kami, namun ajaibnya kami berhasil melarikan diri dari pengeboman dan hujan peluru,” ujar Asaleia.

Seiring dengan berlarutnya perang
Orang-orang mengungsi dari Kota Jabalia di Jalur Gaza utara pada 12 Oktober 2024. (Xinhua/Abdul Rahman Salama)

Bagi Asaleia dan keluarga Palestina lainnya yang mengungsi dari Jabalia, bayang-bayang penderitaan terus menghantui mereka. Meskipun telah berhasil lolos dari maut, mereka harus terus berjuang setiap hari untuk mendapatkan makanan dan air, serta harus memikirkan keamanan mereka dari ancaman serangan berikutnya.

Saat ini, Asaleia dan keluarganya tinggal di kamp Al-Shati. Di sana, mereka tidur di atas tanah tanpa atap untuk berteduh dan sering terbangun karena panik akibat suara ledakan yang terjadi berulang kali.

“Anak-anak saya hanya makan beberapa suap dalam sepekan. Bagaimana mereka bisa hidup?” tanya pria itu.

Bagi Samia Abu Warda, situasinya tidak jauh berbeda. Dia terpaksa mengungsi bersama tujuh anaknya dengan berjalan kaki dari Jabalia tujuh bulan yang lalu setelah suaminya tewas dalam serangan udara Israel.

“Hal yang paling membuat saya takut selama perjalanan pengungsian adalah berpacu dengan kematian di satu sisi, dan di sisi lainnya rasa kaget terhadap tingkat kehancuran yang berdampak pada semua aspek kehidupan,” kenang Samia.

“Perjalanan pengungsian itu seperti film horor yang tidak pernah saya bayangkan, bahkan dalam mimpi buruk saya sekalipun,” ujarnya kepada Xinhua.

Dengan serangan yang terus berlanjut dan kesulitan sehari-hari, baik Asaleia maupun Samia tidak tahu kapan mereka akan berada dalam daftar kematian.

“Kami sendirian, dan tidak ada yang bisa melindungi kami. Kami semua akan mati dengan cepat karena pengeboman atau mati perlahan-lahan karena kelaparan,” keluh mereka.

Warga Palestina memeriksa tenda-tenda yang hancur di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, pascaserangan Israel pada 14 Oktober 2024. (Xinhua/Marwan Dawood)

Sejak 7 Oktober 2023, Israel telah melancarkan perang skala besar melawan Hamas di Gaza, yang telah menyebabkan 42.344 warga Palestina tewas serta kerusakan besar pada rumah dan infrastruktur, menurut otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Selasa (15/10).

“Tentara Israel menghancurkan 150.000 unit rumah dan merusak lebih dari 80.000 unit lainnya, sehingga tidak dapat dihuni,” kata Ismail al-Thawabta, kepala kantor media yang dikelola Hamas di Gaza.

“Serangan Israel juga meluluhlantakkan 125 universitas dan sekolah serta menyebabkan kehancuran sebagian pada 337 lebih institusi pendidikan lainnya. Perang ini juga menyebabkan lebih dari 780.000 murid tidak dapat mengenyam pendidikan selama dua tahun berturut-turut,” tambah al-Thawabta.

Warga Palestina memeriksa kerusakan di Sekolah Rafida yang hancur akibat serangan udara Israel di Kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, pada 11 Oktober 2024. (Xinhua/Marwan Dawood)

Seiring dengan berlarutnya perang yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun, harapan orang-orang akan berakhirnya semua kematian, pengeboman, dan kehancuran kian memudar, ujar Tayseer Awad, seorang pengungsi lainnya yang berasal dari Gaza. “Bahkan jika perang ini berhenti … berapa tahun lagi kami harus menghabiskan waktu untuk membersihkan reruntuhan dan, yang lebih penting lagi, berapa tahun lagi kami harus menghabiskan waktu untuk memulihkan diri kami?” kata Awad.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan