Banner

Feature – Warga Lebanon dihantui trauma psikologis pascainsiden ledakan ‘pager’ mematikan

Orang-orang menghadiri upacara pemakaman para korban yang tewas dalam insiden ledakan penyeranta (pager) di Beirut, Lebanon, pada 18 September 2024. (Xinhua/Bilal Jawich)

Pager dan perangkat nirkabel yang banyak digunakan oleh anggota kelompok Hizbullah Lebanon meledak, mengakibatkan 37 orang tewas dan 2.931 orang terluka.

 

Beirut, Lebanon (Xinhua/Indonesia Window) – Air mata membasahi mata Elias Jradi ketika dokter bedah itu melangkah keluar dari sebuah ruang operasi di Rumah Sakit Ragheb Harb di Kota Nabatieh, Lebanon selatan. Di dalam ruang operasi tersebut, terdapat puluhan warga yang mengalami cedera mata akibat insiden ledakan penyeranta (pager) dan perangkat komunikasi nirkabel beberapa hari yang lalu.

“Kami melewati jam-jam yang sulit dan kritis di dalam ruang operasi, saat kami melihat mata yang terluka, anggota tubuh yang terputus, dan wajah yang hancur,” kata Jradi.

Sebelumnya pada pekan ini, pager dan perangkat nirkabel yang banyak digunakan oleh anggota kelompok Hizbullah Lebanon meledak, mengakibatkan 37 orang tewas dan 2.931 orang terluka.

Dengan suara tercekat dan lirih, Jradi, yang juga seorang anggota parlemen, mengatakan kepada Xinhua bahwa itu adalah pemandangan mengerikan yang belum pernah terlihat dalam sejarah perang, dengan ratusan orang yang terluka pada bagian mata dan lengan berdesakan di ruang gawat darurat.

“Kami harus memprioritaskan korban yang terluka paling parah dan melakukan operasi krusial pada mereka,” kata Jradi. “Pada saat yang sama, kami harus merawat anggota tubuh yang terputus melalui penanganan oleh dokter spesialis bedah dan mata yang berdarah, karena sebagian besar dari mereka kehilangan penglihatan.”

Foto yang diabadikan pada 18 September 2024 ini menunjukkan sejumlah sepeda motor yang rusak akibat insiden ledakan alat komunikasi di Baalbek, Lebanon. (Xinhua/Taher Abu Hamdan)

Bagi Laila Abdallah, seorang perawat di rumah sakit pemerintah di Nabatieh, hari-hari pascainsiden ledakan itu masih membekas di benaknya.

“Kami tidak tahu apa yang terjadi di luar, karena sirene ambulans meraung-raung di mana-mana, dan tim penyelamat membawa banyak orang yang terluka dan berlumuran darah ke unit gawat darurat,” katanya.

“Kengerian pemandangan itu membuat saya terguncang dan menyebabkan penglihatan saya kabur selama beberapa saat sebelum saya dapat menemukan kekuatan lagi untuk terus menolong mereka yang terluka,” kenang sang perawat. “Bayangan tubuh-tubuh berlumuran darah tersebut belum hilang dari pikiran saya.”

Hassan Hamdan, seorang warga berusia 50 tahun, mengatakan bahwa pemandangan tersebut menyerupai “film horor yang belum pernah saya lihat seumur hidup. Banyak orang bergelimpangan di tanah, di toko-toko, atau di dalam mobil, dengan luka sebagian besar pada bagian wajah, mata, dan tangan.”

“Saya tidak menemukan cara untuk menolong puluhan orang yang terluka di sekitar saya di jalanan Nabatieh, jadi saya menelepon Palang Merah, dan dari sana ambulans dikerahkan ke segala arah, menjemput mereka yang terluka dan melarikannya ke rumah sakit,” ungkap Hamdan.

Orang-orang mengantre untuk menjadi donor darah bagi para korban luka dalam insiden ledakan penyeranta (pager) di sebuah rumah sakit di Beirut, Lebanon, pada 17 September 2024. (Xinhua/Bilal Jawich)

Kawthar Fahs, warga Lebanon lainnya, bercerita kepada Xinhua bahwa dia sedang ditemani oleh anaknya yang masih kecil di sebuah toko buah di pusat Kota Tyre di bagian selatan negara itu saat sebuah alat komunikasi meledak di hadapan seorang pemuda berusia 30-an tahun yang jaraknya hanya beberapa meter dari mereka.

“Anak saya tampak cemas dan bingung dan mulai berteriak saat mendengar ledakan dan melihat warga berlarian untuk menolong,” ujarnya.

Terlepas dari banyaknya korban jiwa, rumah sakit setempat telah bersiap untuk menampung lebih banyak korban yang terluka, karena Israel sebelumnya sudah mengindikasikan akan mengintensifkan operasi militer di Lebanon.

“Kami sudah siap berkat pelatihan intensif yang diberikan kepada staf medis dan perawat serta pekerja rumah sakit lainnya sejak pecahnya perang di Jalur Gaza,” kata Moueness Kalakesh, Direktur Rumah Sakit Pemerintah Marjeyoun, kepada Xinhua.

Sementara luka-luka fisik para korban sedang dalam perawatan, bekas luka emosional yang ditinggalkan oleh ledakan-ledakan tersebut mungkin akan membekas untuk waktu yang lama. “Ledakan berdarah yang terjadi di dalam rumah, di jalanan, dan di banyak tempat umum akan berdampak negatif terhadap kesehatan psikologis individu dan masyarakat secara umum,” kata psikiater Claude Nasr kepada Xinhua

“Sulit bagi anak-anak dan orang dewasa untuk melupakan kejadian mengerikan ini,” tuturnya, seraya menambahkan bahwa sebagian besar orang mengalami depresi, kecemasan, dan mimpi buruk, dan mereka membutuhkan “konsultasi kesehatan psikologis berkala selama beberapa bulan.”

Ledakan-ledakan itu, yang menurut Hizbullah didalangi oleh Israel, menambah elemen baru dalam konflik yang telah berlangsung selama 11 bulan antara Israel dan Hizbullah. Meski belum memberikan komentar mengenai kedua insiden tersebut, Israel sebelumnya telah mengumumkan pengalihan fokus militer dari Gaza ke Israel utara, dan bersumpah akan terus melakukan serangan terhadap Hizbullah hingga penduduk di wilayah utaranya dapat kembali ke rumah mereka dengan aman.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Banner
Banner

Iklan