Keputusan UE untuk memberlakukan tarif pada EV China, yang diklaim bertujuan untuk melindungi industri otomotif di blok tersebut, justru dapat menghambat pertumbuhan dan membatasi akses konsumen Eropa terhadap model-model EV China yang lebih terjangkau.
Frankfurt, Jerman (Xinhua/Indonesia Window) – Uni Eropa (UE) mengabaikan sejumlah proposal baru dari produsen mobil China yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan terkait mobil listrik (electric vehicle/EV) China di pasar Eropa. Langkah tersebut menghalangi upaya untuk meredakan ketegangan melalui dialog.
Keputusan untuk memberlakukan tarif pada EV buatan China, terlepas dari beberapa tawaran yang diajukan oleh produsen China, telah memicu gelombang protes baru di dalam blok tersebut.
Penentangan semakin intensif
Perdana Menteri (PM) Spanyol Pedro Sanchez, dalam kunjungannya ke China baru-baru ini, menyuarakan penentangannya terhadap usulan tarif UE terhadap EV China, dan mendesak UE untuk mempertimbangkan kembali serta mencari kompromi dengan China demi menghindari perang dagang. Kekhawatiran senada digaungkan oleh Kanselir Jerman Olaf Scholz, yang juga mengkritik usulan tarif tersebut.
Pada Mei, PM Swedia Ulf Kristersson memperingatkan agar tidak memberlakukan tarif terhadap EV China, dengan mengatakan bahwa “perang dagang yang lebih luas di mana kita saling memblokir produk satu sama lain bukanlah cara yang tepat bagi negara-negara industri seperti Jerman dan Swedia.”
PM Hongaria Viktor Orban bahkan menggambarkan tarif tersebut sebagai sanksi “brutal” terhadap produsen mobil China, dan menyerukan persaingan terbuka.
Berbagai suara penentangan ini menunjukkan bahwa keputusan untuk mengenakan tarif terhadap EV China tidak memiliki dukungan yang bulat di antara negara-negara anggota blok tersebut. “Banyak yang menilai bahwa keputusan ini merupakan langkah menuju perang dagang antara Eropa dan China, yang pada akhirnya hanya akan merugikan ekonomi Eropa,” kata analis politik Kroasia, Mladen Plese.
Pakar otomotif Jerman, Ferdinand Dudenhoeffer, yang menjabat sebagai direktur Pusat Penelitian Otomotif (Center for Automotive Research/CAR) di Bochum, berpendapat bahwa pendekatan proteksionis seperti itu dapat mendorong produsen mobil UE untuk meningkatkan investasi di China, pasar mobil terbesar di dunia sekaligus pemimpin dalam industri EV yang sedang berkembang pesat.
Dia memperingatkan bahwa langkah proteksionisme dan penerapan tarif merupakan strategi yang salah arah serta hanya akan mendatangkan kerugian bagi Jerman dan UE.
“Tarif hukuman Komisi Eropa telah berdampak negatif pada perusahaan-perusahaan Jerman dan produk-produk unggulan mereka. Harga mobil akan menjadi lebih murah dengan adanya lebih banyak kompetisi, pasar terbuka, dan kondisi bisnis yang jauh lebih baik di UE, bukan melalui perang dagang dan isolasi pasar,” kata Menteri Transportasi Jerman Volker Wissing dalam sebuah pesan yang diunggah di platform media sosial X.
Sementara itu, PM Norwegia Jonas Gahr Store secara terbuka menentang tarif hukuman terhadap EV China. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan media China, dia menekankan bahwa sebagai anggota non-UE, Norwegia tidak terikat oleh kebijakan UE. “Konsumen di Norwegia perlu memiliki akses yang terbuka terhadap mobil-mobil yang ingin mereka beli,” ujarnya.
Dampak pada produsen dan konsumen
Keputusan UE untuk memberlakukan tarif pada EV China, yang diklaim bertujuan untuk melindungi industri otomotif di blok tersebut, justru dapat menghambat pertumbuhan dan membatasi akses konsumen Eropa terhadap model-model EV China yang lebih terjangkau, kata sejumlah analis.
Industri otomotif Jerman telah lama berkembang melalui pasar terbuka. Meski demikian, penerapan tarif ini diperkirakan akan menyebabkan kenaikan harga dan mengurangi tekanan persaingan pada produsen mobil Eropa untuk mengembangkan model-model EV yang lebih terjangkau, yang saat ini terbilang masih minim.
“Pabrikan-pabrikan Eropa memang perlu ditantang,” kata Rico Luman, seorang ekonom senior di ING yang berfokus pada transportasi, logistik, dan industri otomotif.
Produsen EV China telah mendapatkan keunggulan kompetitif di pasar global melalui pertumbuhan produksi yang cepat, teknologi canggih, dan inovasi mutakhir, kata Luman.
Sjors ten Tije, manajer Asosiasi Pengemudi Kendaraan Listrik Belanda (Dutch Association of Electric Drivers), menyebut bahwa pabrikan Eropa sangat bergantung pada suku cadang China dan dampak penerapan tarif tambahan ini hanya akan menghambat perkembangan otomotif di Eropa.
Tarif yang lebih tinggi akan menyebabkan harga EV menjadi lebih tinggi, sehingga membuat para konsumen yang mencari opsi transportasi ramah lingkungan kesulitan untuk menemukan model yang terjangkau, tambahnya.
“Transisi ke kendaraan listrik mungkin akan tertunda. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan berkurangnya dana yang tersedia untuk penelitian dan pengembangan (litbang),” kata Maarten Steinbuch, seorang profesor di bidang Sistem dan Kontrol dari Universitas Teknologi Eindhoven di Belanda.
Memperlambat transformasi hijau
Para pakar memperingatkan bahwa selain mengganggu perdagangan dan kolaborasi antara UE dan China, tarif terhadap EV China dapat mengancam transisi yang direncanakan UE menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
Piotr Gadzinowski, mantan pemimpin redaksi surat kabar Polandia Trybuna, menekankan bahwa kerja sama dengan China dalam industri EV sangat penting bagi UE demi mencapai tujuan-tujuan iklimnya.
Gadzinowski mencatat bahwa tarif terhadap EV China akan menghambat promosi EV di Uni Eropa, terutama di negara-negara dengan adopsi EV yang rendah.
Gangguan rantai pasokan dan gagalnya upaya-upaya penelitian kolaboratif dapat berdampak negatif pada produsen Eropa dan China, yang semakin memperkeruh hubungan UE-China, sebutnya.
Eric De Keuleneer, direktur eksekutif University Foundation yang berbasis di Brussel sekaligus Profesor Emeritus di ULB Solvay Brussels School, mendesak para pembuat kebijakan UE untuk mempertimbangkan dampak tarif tersebut terhadap pengembangan industri dan transisi hijau Eropa. Dia menekankan pentingnya dukungan China dalam menyediakan baterai dengan harga yang terjangkau, yang akan bermanfaat bagi para konsumen dan produsen mobil di Eropa.
Dick Roche, mantan menteri untuk urusan Eropa Irlandia, mempertanyakan logika penerapan tarif terhadap EV China, mengingat tujuan-tujuan transisi hijau Uni Eropa. “Perubahan teknologi akan menjadi pendorong utama transisi hijau dan digital di Eropa. Suka atau tidak, China merupakan pemimpin dalam teknologi yang penting bagi kemajuan Eropa menuju netralitas karbon,” tuturnya.
Laporan: Redaksi