Feature – Krisis minyak akhiri era keemasan Barat saat minyak lebih murah daripada air

Sebuah pesawat tempur Irak lepas landas untuk melakukan atraksi dalam perayaan yang menandai peringatan 93 tahun berdirinya Angkatan Udara Irak di Provinsi Salahudin, Irak, pada 24 April 2024. (Xinhua/Khalil Dawood)

Perusahaan Minyak Nasional Irak menasionalisasi Iraq Petroleum Company yang dikendalikan oleh Barat pada 1 Juni 1972, sehingga memicu gelombang nasionalisasi yang dengan cepat menyebar ke Kuwait, Venezuela, Arab Saudi, dan negara-negara lain.

 

Baghdad, Irak (Xinhua/Indonesia Window) – Pertengahan abad ke-20 diwarnai dengan gelombang perjuangan antikolonial yang kuat di seluruh Asia dan Afrika, yang berujung pada kemerdekaan sejumlah negara. Rezim boneka dinasti Faisal di Irak yang dikendalikan Inggris pun mulai goyah.

“Saat itu, negara ini hampir jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem. Semua orang hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Dengan kondisi seperti itu, revolusi pun meletus,” kenang Hussein Ali Saeed, seorang pensiunan pekerja minyak Irak.

Pada 14 Juli 1958, suara tembakan terdengar di Baghdad ketika Abdul Karim Qasim melakukan kudeta dan menggulingkan Faisal II, yang berujung pada berdirinya Republik Irak dan berakhirnya kekuasaan Inggris.

“Mengambil kembali kekayaan yang dicuri” menjadi seruan republik baru tersebut, dengan menghapuskan kolonialisme minyak sebagai tujuan utama. Pada 1959, Irak membentuk Kementerian Perminyakan untuk mengelola urusan perminyakan nasional.

Terlepas dari upaya-upaya ini, lebih dari 80 persen cadangan minyak dunia dikuasai oleh tujuh perusahaan minyak besar yang mendominasi pasar global pada masa itu, yang dikenal dengan sebutan Seven Sisters. Hal ini memungkinkan mereka dapat memanipulasi harga minyak.

Untuk dapat terlepas dari dominasi Seven Sisters, Irak menjalin aliansi dengan negara-negara Dunia Ketiga. Pada September 1960, perwakilan dari Venezuela, Arab Saudi, Kuwait, dan Iran bertemu di Baghdad atas undangan Irak, mendirikan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk melindungi kepentingan negara-negara anggota dan memastikan harga pasar minyak yang stabil.

Pada 1 Juni 1972, Perusahaan Minyak Nasional Irak menasionalisasi Iraq Petroleum Company yang dikendalikan oleh Barat, memicu gelombang nasionalisasi yang dengan cepat menyebar ke Kuwait, Venezuela, Arab Saudi, dan negara-negara lain.

Pada Oktober 1973, selama Perang Yom Kippur, para produsen minyak di Timur Tengah mengumumkan embargo minyak terhadap negara-negara Barat yang mendukung Israel. OPEC mengambil kesempatan itu untuk merebut kembali kendali atas harga minyak, menaikkan harga minyak dari 5,12 dolar AS menjadi 11,65 dolar AS per barel pada Desember 1973.

Bagi pihak Barat, krisis minyak ini mengakhiri era keemasan mereka ketika minyak lebih murah daripada air.

Dengan melonjaknya harga minyak, Irak memasuki periode perkembangan yang pesat. Pada 1979, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapitanya melonjak dari 392 dolar AS pada awal nasionalisasi minyak menjadi 2.858 dolar AS.

“Ekonomi, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan budaya telah berkembang pesat. Pendidikan dan fasilitas kesehatan terjamin. Upah kami meningkat, tabungan bertambah, dan banyak keluarga yang membeli mobil bahkan bepergian atau belajar ke luar negeri,” kenang Hussein saat mengingat masa itu sebagai masa yang penuh dengan kemakmuran.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan