Banner

Beban TBC tertinggi di Indonesia cakup wilayah Jawa, Sumut, Sulsel

Ketua Program Tuberkulosis USAID, Bey Sonata, pada press briefing dalam rangka Hari Tuberkulosis Sedunia, di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Senin (25/3/2024). (Indonesia Window)

Beban kasus tuberkulosis (TBC) tertinggi di Indonesia mencakup wilayah Jawa, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan, dengan mempertimbangkan populasi yang padat, jumlah kasus TBC yang tercatat sebelumnya, angka keberhasilan deteksi awal dan pengobatan, serta lingkungan, terutama pencemaran udara.

 

Jakarta (Indonesia Window) – Wilayah Jawa, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan memiliki beban kasus tuberkulosis (TBC) tertinggi di Indonesia.

“Hal tersebut merupakan estimasi nasional dengan mempertimbangkan beberapa kondisi,” ujar Ketua Program Tuberkulosis USAID, Bey Sonata, pada press briefing dalam rangka Hari Tuberkulosis Sedunia, di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Senin.

Dia menerangkan, kondisi yang memengaruhi tingginya beban kasus TBC adalah populasi yang padat, jumlah kasus TBC yang tercatat sebelumnya, angka keberhasilan deteksi awal dan pengobatan, serta lingkungan, terutama pencemaran udara.

Upaya bersama antara USAID (Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat) dan sejumlah mitra rumah sakit di Indonesia berhasil mendeteksi 1.060.000 kasus baru, dengan 134.000 kasus kematian, setiap tahun.

Banner

“Ini berarti setiap empat menit ada satu orang di Indonesia meninggal karena TBC,” kata Bey, seraya memaparkan sejumlah tantangan dalam melawan TBC, salah satunya adalah bakteri penyebab TBC dapat bersifat dormant atau laten sehingga cukup sulit untuk mendeteksi seseorang memiliki potensi mengidap TBC.

Menurut dia, orang yang terpapar bakteri TBC belum tentu terinfeksi. “Hanya 30 persen dari mereka yang terpapar akan jadi terinfeksi, dan 5-10 persen akan mengalami sakit. Sementara itu, ada 90 persen yang memiliki TBC laten.”

“TBC akan muncul jika imunitas menurun, terutama pada orang yang mengidap diabetes, malnutrisi, HIV/AIDS, serta merupakan perokok aktif dan sering mengonsumsi alkohol,” jelas Bey, seraya menambahkan, pada tahun 2023, sebanyak 820.000 pasien terdeteksi TBC, sementara 200.000 lainnya belum ditemukan.

Selain itu, lanjutnya, banyak ditemukan kasus TBC yang resisten terhadap obat-obatan. “Di Indonesia ada 1 juta kasus TBC dan sekitar 31.000 di antaranya resisten terhadap obat.”

Dalam upaya menghadapi tantangan-tantangan tersebut, lanjut Bey, USAID terus melakukan inovasi riset dan pendekatan baru untuk menanggulangi TBC.

Pengobatan TBC yang resisten obat memerlukan waktu panjang, sementara mengonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan efek samping tidak nyaman bagi tubuh dan mental pasien.

Banner

Selain memberdayakan kader kesehatan untuk mendampingi para pasien yang resisten terhadap obat untuk menyelesaikan pengobatan TBC hingga selesai, USAID juga akan menyediakan obat terapi pencegahan tuberkulosis bagi 145.070 orang di Indonesia.

“Ini merupakan paduan obat baru yang diharapkan menyingkat waktu pengobatan dari 11 bulan menjadi tiga bulan,” kata Bey.

Beban kasus tuberkulosis
Press briefing dalam rangka Hari Tuberkulosis Sedunia, di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Senin (25/3/2024). (Indonesia Window)

Kemitraan USAID dengan jaringan rumah sakit swasta di Indonesia dalam melawan TBC telah membuatkan hasil, dengan 37.000 kasus berhasil disembuhkan, ujarnya.

Hari Tuberkulosis Sedunia yang diperingati pada 24 Maret merupakan hari di tahun 1882 ketika Dr. Robert Koch mengumumkan bahwa dia telah menemukan bakteri penyebab TBC, yang membuka jalan menuju diagnosis dan penyembuhan penyakit ini.

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan