Etnis minoritas Muslim Uighur di wilayah Otonomi Xinjiang China mengalami penindasan selama 70 tahun, dengan dipaksa bekerja 12 jam sehari dan diharuskan mengikuti kelas pembelajaran partai komunis pada malam hari.
Jakarta (Indonesia Window) – Direktur Eksekutif Pusat Studi Uighur (Center for Uyghur Studies/CUS) Abdulhakim Idris mengingatkan kembali pentingnya perhatian dunia internasional terhadap nasib etnis minoritas Muslim Uighur di wilayah Otonomi Xinjiang China yang mengalami penindasan selama 70 tahun.
“Selain melakukan penindasan, Pemerintah Tiongkok menghilangkan statistik di Xinjiang pada akhir 2019, sehingga menyulitkan pemantauan dunia terhadap eksistensi Muslim Uighur di wilayah itu,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.
Selain menampilkan narasumber utama Direktur Eksekutif CUS Abdulhakim Idris, konferensi pers itu juga menghadirkan Presiden Organisasi Kerja Sama Pemuda Islam (OIC Youth) Indonesia Astrid Nadya Rizqita, dan dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam (STAI PERSIS) yang juga Peneliti Muslim Uighur, Imam Sopyan.
Jumpa pers itu merupakan bagian dari rangkaian seminar yang diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia mulai dari 8 hingga 18 Desember, yaitu Yogyakarta, Makassar, Jakarta, Bandung, dan Medan.
Dengan tema ‘Uyghur Plight: Call for Solidarity’, seminar tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran dan solidaritas terkait situasi yang dihadapi oleh masyarakat Muslim Uighur di Xinjiang.
Direktur Eksekutif CUS lebih lanjut mengemukakan, pihaknya membawa laporan dan buku yang menguraikan situasi di Uighur, membahas Islamofobia, dan memberikan pemahaman mendalam mengenai sejarah dan budaya Uighur.
“Salah satu misi Center for Uyghur Studies adalah mempelajari sejarah, budaya, dan politik Uighur serta mempromosikan karya sastra serta tokoh sejarah Uighur kepada dunia,” ujarnya.
Abdulhakim Idris juga menyampaikan hasil penilaian Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (UN Human Rights Office of the High Commissioner/OHCHR) terhadap kekhawatiran pelanggaran hak asasi manusia di Wilayah Otonomi Xinjiang, Republik Rakyat Tiongkok.
“OHCHR menyuarakan keprihatinan yang serius terhadap situasi di Xinjiang yang semakin menunjukkan urgensi untuk tindakan internasional,” tegasnya sambil menambahkan bahwa penilaian badan PBB itu menjadi pijakan untuk menuntut tanggung jawab China dan mendesak untuk penyelesaian terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dialami etnis Uighur.
Sementara itu Presiden OIC Youth Indonesia Astrid Nadya Rizqita menyatakan, melalui pendekatan HAM dan anti-islamofobia, OIC Youth Indonesia berkomitmen untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan memerangi ketidakadilan.
“Kami sebagai civil society melakukan tugas kami untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, kami sangat paham bahwa Indonesia memiliki landasan politik luar negeri bebas aktif, dan ini bukan berarti kita netral, tapi bagaimana bersikap sesuai nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.
Dia juga menyoroti isu kerja paksa, di mana orang-orang dari etnis Uighur Muslim dipaksa bekerja 12 jam sehari dan diharuskan mengikuti kelas pembelajaran partai komunis pada malam hari, dan pembatasan kebebasan beragama menjadi isu serius, sementara keluarga-keluarga mereka ditahan di kamp-kamp konsentrasi.
Pada kesempatan yang sama dosen STAI PERSIS Imam Sopyan menyoroti sejarah panjang etnis Uighur di Wilayah Otonomi Xinjiang yang terletak di barat laut China sejak abad 5 dan 6. Ia menyampaikan bahwa situasi HAM yang dialami Muslim Uighur dapat dikategorikan sebagai genosida (pemusnahan etnis).
Laporan: Redaksi