Banner

LIPI: Banjir Jabodetabek karena aspek teknis, ekologi, sosial kurang tertata

Foto udara banjir di sebuah kawasan di Jakarta pada Rabu (1/1/2020). (BNPB)

Jakarta (Indonesia Window) – Banjir di sejumlah daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal 2020 yang telah menelan korban sedikitnya 67 orang adalah pelajaran berharga bagi semua pihak.

Peneliti pada Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Galuh Syahbana Indrapahasta, mengatakan banjir di Jabodetabek disebabkan tidak terkelolanya aspek teknis, ekologi, dan sosial.

Menurut dia, pembangunan Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat sudah direncanakan sejak zaman colonial, demikian dikutip dari situs jejaring LIPI di Jakarta, Senin.

“Ini menunjukkan bahwa banjir sudah menjadi kekhawatiran sejak lama. Secara subsistem teknis, perlu perbaikan sistem drainase dan pompa,” terangnya.

Galuh juga menyoroti perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan sehingga menjadi faktor penyebab banjir.

Banner

“Sungai dilihat sebagai halaman belakang, tempat sampah komunal,” ujarnya, seraya menjelaskan, produksi sampah Jakarta hanya 0,5 sampai 0,8 kilogram per hari dibandingkan Singapura yang mencapai satu kilogram per hari.

“Namun di sana jarang terjadi bencana banjir. Ini berarti bukan soal sampahnya, tapi perilaku membuang sampahnya,” tegas Galuh.

Sementara itu, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Gusti Ayu Surtiari, menjelaskan tentang hal-hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi banjir.

“Jabodetabek berisiko banjir karena topologi dan ekologinya, ditambah lagi curah hujan meningkat. Lalu, jika banjir sudah datang, kita mau apa? Mau tidak mau kita harus beradaptasi,” ujarnya.

Dia menjelaskan, adaptasi tersebut harus dilakukan di semua lapisan masyarakat mulai dari individu, serta di setiap tingkat dari unit rukun tetangga hingga nasional.

“Masing-masing tingkat memiliki rasionalitas untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukan. Seluruh tingkat tersebut harus sinergis dan tidak saling menghambat satu dengan yang lain. Misalnya, adaptasi di tingkat pemerintah tidak menghambat adaptasi oleh individu atau rumah tangga,” tuturnya.

Banner

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan