Perekonomian anggota APEC harus meningkatkan upaya menuju integrasi ekonomi lebih lanjut, termasuk mengurangi hambatan perdagangan dan investasi, bersama-sama mengatasi risiko yang ditimbulkan oleh COVID-19, tingginya inflasi, dan perubahan iklim, serta memberikan dorongan bagi kawasan itu dan dunia untuk berkembang secara berkelanjutan.
Bangkok, Thailand (Xinhua) – Bangkok saat ini sedang menjadi sorotan dengan para pemimpin dari 21 perekonomian Lingkar Pasifik berkumpul untuk melangsungkan pertemuan tatap muka pertama mereka sejak 2018 guna mencari solusi atas berbagai tantangan yang mendesak serta memacu pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif di seluruh kawasan tersebut dan sekitarnya.
Pertemuan Pemimpin Ekonomi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC) ke-29 akan digelar pada Jumat (18/11) dan Sabtu (19/11) dengan mengusung tema ‘Terbuka, Terhubung, Seimbang’ (Open, Connect, Balance).
Dunia sedang menghadapi berbagai tantangan berat di saat pemulihan ekonomi global yang rentan terus-menerus dihantam oleh inflasi yang berkepanjangan, meroketnya harga energi dan pangan, serta meningkatnya ketegangan geopolitik, yang diperburuk oleh dampak perubahan iklim yang meluas dan pandemik yang terjadi sekali dalam satu abad.
Para pengamat mengatakan perekonomian anggota APEC harus meningkatkan upaya menuju integrasi ekonomi lebih lanjut, termasuk mengurangi hambatan perdagangan dan investasi, bersama-sama mengatasi risiko yang ditimbulkan oleh COVID-19, tingginya inflasi, dan perubahan iklim, serta memberikan dorongan bagi kawasan itu dan dunia untuk berkembang secara berkelanjutan.
Perekonomian anggota APEC
Dalam Laporan Prospek Ekonomi Regional untuk Asia dan Pasifik terbaru, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhannya untuk kawasan Asia-Pasifik menjadi 4 persen tahun ini dan 4,3 persen tahun depan, masing-masing lebih rendah 0,9 dan 0,8 poin persentase dari proyeksi pada April.
Meski terjadi penurunan pertumbuhan, Asia masih menjadi titik terang dalam ekonomi global yang terus meredup, ujar Krishna Srinivasan, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF.
Rumah bagi 2,9 miliar orang, atau hampir 40 persen dari populasi dunia, 21 perekonomian anggota APEC menyumbang sekitar separuh dari perdagangan global dan 60 persen lebih dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. “Jika 21 perekonomian tersebut terhubung satu sama lain dan bekerja sama, maka akan menghasilkan kekuatan yang besar,” ujar Ketua Dewan Penasihat Bisnis APEC (APEC Business Advisory Council/ABAC) Kriengkrai Thiennukul kepada Xinhua.
Kawasan tersebut menelurkan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP), kesepakatan perdagangan bebas terbesar di dunia yang mulai berlaku pada 1 Januari tahun ini, yang memberikan manfaat nyata bagi Asia-Pasifik dan rakyatnya dengan memangkas tarif dan menghapuskan hambatan nontarif. Menurut sebuah laporan yang dirilis di Forum Media dan Wadah Pemikiran RCEP (RCEP Media & Think Tank Forum) pada Mei tahun lalu, RCEP yang beranggotakan 15 negara tersebut diharapkan dapat membantu anggotanya meningkatkan ekspor, total investasi asing, dan PDB masing-masing sebesar 10,4 persen, 2,6 persen, dan 1,8 persen pada 2025. Proyeksi lain oleh Peterson Institute for International Economics (PIIE) memprediksi RCEP dapat meningkatkan pendapatan nasional sebesar 186 miliar dolar AS setiap tahun hingga 2030.
Namun demikian, kawasan ini juga menghadapi berbagai tantangan mendesak termasuk pandemik, ketegangan geopolitik, inflasi yang tinggi, kerawanan pangan, dan perubahan iklim. Kriengkrai menuturkan perekonomian anggota APEC harus menghindari campur tangan politik, dan tetap berkomitmen pada keterbukaan, inklusivitas, perdagangan bebas, dan konektivitas.
Fokus lain dari pertemuan yang akan datang adalah menyegarkan kembali pembicaraan di Kawasan Perdagangan Bebas Asia-Pasifik (Free Trade Area of the Asia-Pacific/FTAAP), yang menurut Thani Thongphakdi, Sekretaris Tetap Thailand untuk Urusan Luar Negeri sekaligus Ketua Pertemuan Pejabat Senior APEC 2022, “memiliki potensi untuk memberikan manfaat yang signifikan bagi perekonomian anggota kami.”
Pertumbuhan hijau, pemulihan berkelanjutan
Sementara perekonomian-perekonomian anggota APEC mencari langkah untuk memulai kembali pertumbuhan ekonomi, mereka mencoba memastikan pemulihan yang hijau, berkelanjutan, dan tangguh.
Sebelum pandemik melanda, para perekonomian itu sudah ditekan untuk melakukan dekarbonisasi sebagai respons terhadap perubahan iklim. “Sekarang tekanan itu bahkan lebih besar, dan itulah mengapa dalam pemulihan ekonomi dari pandemi, pemerintah memprioritaskan ‘pemulihan berkelanjutan’ dan ‘pembangunan hijau’,” ujar Craig Emerson, Direktur Pusat Studi APEC Australia di Universitas RMIT.
Patut dicatat bahwa konsekuensi perubahan iklim tidak hanya terjadi di negara kepulauan yang rentan. Dari banjir dahsyat di Pakistan, gelombang panas yang parah di Eropa selatan, hingga badai yang melanda Amerika Serikat, banyak tempat di dunia merasakan berbagai bencana terkait iklim.
Oleh karena itulah Thailand, sebagai tuan rumah Pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC ke-29, mengajukan model ekonomi Bio-Circular-Green (BCG) miliknya dan menyusun sebuah dokumen hasil, yakni Tujuan Bangkok pada Ekonomi BCG (Bangkok Goals on BCG Economy), dalam pertemuan tahun ini untuk planet yang berkelanjutan.
“Penyelesaian dan pengesahannya akan menempatkan APEC pada sebuah lintasan pertumbuhan menuju masa depan yang kuat, seimbang, berkelanjutan, inklusif, dan tangguh,” kata Thani.
Perubahan iklim, sebagai sebuah isu global, kemungkinan tidak dapat ditangani oleh pihak mana pun secara sendirian, sehingga diperlukan upaya yang lebih terpadu. Selama ekonomi Asia-Pasifik tetap bersatu dan berfokus pada visi bersama mereka dalam membangun komunitas yang terbuka, dinamis, tangguh, dan damai, mereka dapat bergabung dengan seluruh dunia untuk dengan percaya diri melewati pergolakan.
Kontribusi China terhadap APEC
Sejak bergabung dengan APEC 31 tahun yang lalu, China berkomitmen kuat pada kemitraan regional serta perdagangan bebas dan investasi, memberikan kontribusi signifikan terhadap sistem perdagangan multilateral dan ekonomi dunia yang terbuka.
China, salah satu negara pertama yang meratifikasi perjanjian RCEP tahun lalu, juga sedang berupaya bergabung dengan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership/CPTPP) dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Digital (Digital Economy Partnership Agreement/DEPA) untuk integrasi ekonomi regional lebih lanjut. Baik RCEP dan CPTPP diyakini menjadi jalur yang layak menuju FTAAP yang lebih luas, yang ingin dibentuk oleh 21 anggota APEC.
Menggaungkan tema ‘Terbuka, Terhubung, dan Seimbang’ (Open, Connect and Balance) untuk APEC 2022, China menjanjikan keterbukaan berstandar tinggi dengan Pameran Impor Internasional China (China International Import Expo) kelima di Shanghai yang membuahkan hasil luar biasa pada awal bulan ini. Kesepakatan tentatif dengan total nilai 73,5 miliar dolar AS tercapai selama acara bertema impor tersebut, yang menjadi bukti dari berbagai peluang bisnis dan pasar raksasa China.
Pandemik, risiko geopolitik, dan perubahan iklim memicu kekurangan pangan dunia dan menyeret lebih banyak orang di belahan Selatan ke dalam kemiskinan, ujar Koh King Kee, Presiden Center for New Inclusive Asia, sebuah wadah pemikir (think tank) Malaysia.
Kesuksesan China dalam mengentaskan kemiskinan ekstrem dikagumi dan dipuji oleh para pemimpin global, ungkap Koh, seraya menambahkan bahwa pengalaman China dalam pengentasan kemiskinan itu sangat berharga bagi negara-negara berkembang.
Koh menekankan bahwa China, sebagai negara yang berhasil mengentaskan kemiskinan dan membuktikan dirinya sebagai pemimpin dalam bidang energi terbarukan, harus memanfaatkan platform multilateral ini dengan baik dalam berbagi pelajaran, pengalaman, dan keahliannya dalam bidang-bidang ini dengan anggota lainnya.
China dapat membagikan teknologi ramah lingkungannya guna mempromosikan pembangunan hijau dan membantu transisi negara berkembang lainnya menuju energi bersih, yang akan menjadi kontribusi besar bagi upaya global dalam memitigasi perubahan iklim, ujarnya.
“Kami percaya bahwa China memiliki andil besar dalam bagaimana kami memajukan agenda ekonomi BCG,” kata Cherdchai Chaivaivid, Direktur Jenderal Departemen Urusan Ekonomi Internasional Kementerian Luar Negeri Thailand.
“Dengan ukuran ekonomi China, negara itu dapat membuat perbedaan nyata bagi pertumbuhan di Asia-Pasifik. Peran China dalam mendorong integrasi ekonomi regional sangatlah vital. Saya ingin menekankan kembali perlunya China dalam memimpin proses tersebut di Asia-Pasifik dan juga di pasar global,” tuturnya.
*1 dolar AS = 15.610 rupiah
Laporan: Redaksi