Dari kecil, aku selalu mendengar Allah (ﷻ) disebut, tapi tak pernah lihat wajah dan suara-Nya. Tak pernah Dia juga datang ke rumahku.
Teman-teman orangtuaku dan keluargaku dulu sering bertamu, tapi kenapa Allah (ﷻ) tidak? Kenapa Allah (ﷻ) tidak pernah kulihat wajah-Nya?
Ayahku bilang, justru setiap saat aku bertemu Allah (ﷻ). Bahkan sebelum aku lahir.
“Radhwa ingat nggak dulu waktu masih dalam perut Umi?” tanya ayah. Aku hanya menggeleng.
“Nah, seperti itu. Radhwa bertemu Allah (ﷻ) sejak di alam ruh dan alam rahim. Tapi Radhwa sudah lupa. Allah (ﷻ) ada terus, setiap saat. Tapi jangan pikir Allah (ﷻ) itu macam manusia, hewan, tumbuhan, atau benda apa pun karena bentuk-Nya tidak sama. Allah (ﷻ) kan pencipta manusia, masa’ sama juga dengan manusia?”, lanjut ayahku.
Bukannya jadi paham, aku malah tambah bingung. Jadi wujud Allah (ﷻ) itu seperti apa sih?
Oya, waktu aku sekolah di Tadika Taman Kajang Utama, Selangor di Malaysia kuminta ayahku menggambar wajah Allah (ﷻ). Tapi ayahku hanya melukis kaligrafi nama Allah (ﷻ) dengan krayon.
Aku tidak puas karena ku pikir masa’ bentuk Allah (ﷻ) segitu aja sih?
Sekarang aku kelas 6 SD sehingga tanda tanya tentang siapa yang “menciptakan” Allah (ﷻ) kembali muncul di benakku.
Maka, kemarin kutanyai lagi ayahku, “Siapa pencipta Allah (ﷻ)? Bagaimana cara menciptakan Allah (ﷻ)?
Karena aku sudah cukup besar, ayahku pun menjawabnya dengan logika manusia.
“Allah (ﷻ) itulah pencipta. Bagaimana mungkin pencipta malah diciptakan? Masuk akal nggak?”, tanya ayahku balik. Aku diam.
Tentang nabi
Lalu, kutanya lagi tentang nabi yang wajahnya tidak pernah diperlihatkan di film-film. “Kenapa Nabi Muhammad ﷺ di film atau buku-buku wajahnya harus berbentuk cahaya?”
Kini umiku yang jawab, “Kalau semua orang boleh menggambar wajah Radhwa padahal tidak pernah bertemu langsung, kira-kira gimana hasilnya? Bisa beda-beda nggak? Ada gambar yang hidungnya mancung, ada yang pesek. Ada yang kurus, ada yang gemuk. Ada yang menggambar kulit Radhwa putih, ada yang hitam. Nah, sebenarnya, mana yang betul, Radhwa itu mancung atau pesek?”
Aku ngakak dan malu dibilang umiku begitu.
Tapi bukan berarti aku akan berhenti bertanya tentang ini, sebab sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan tentang Allah (ﷻ) menggelayut di benakku.
Aku merasa mungkin orang lain mengira pertanyaanku tidak logis. Apalagi aku hanyalah anak kecil, walau aku sudah kelas 6.
Hmmm … Orang dewasa memang suka meremehkan…
Penulis: ARadhwa Sagena Hasyim (murid kelas 6 SD, tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur)