Mutasi SARS-CoV-2 yang diyakini akan terus berlanjut menimbulkan kekhawatiran akan kemampuan tes antigen dalam mendeteksi variant of concern di masa mendatang.
Los Angeles, AS (Xinhua) – Tim peneliti Amerika Serikat (AS) berhasil mengembangkan metode untuk mengevaluasi bagaimana mutasi pada SARS-CoV-2 dapat memengaruhi pengenalan antibodi yang digunakan dalam tes cepat antigen, menurut pernyataan Institut Kesehatan Nasional (National Institutes of Health/NIH) AS pada Kamis (15/9).
Di saat varian-varian baru virus SARS-CoV-2 terus bermunculan, muncul pula kekhawatiran tentang kinerja tes cepat antigen.
Tim peneliti yang didanai oleh NIH tersebut menunjukkan bahwa tes cepat antigen yang tersedia secara komersial dapat mendeteksi variant of concern di masa lalu dan saat ini, dan mengidentifikasi potensi mutasi yang dapat memengaruhi kinerja tes di masa mendatang.
“Karena sebagian besar tes cepat antigen mendeteksi protein nukleokapsid SARS-CoV-2, atau protein N, tim itu langsung mengukur bagaimana mutasi pada protein N memengaruhi kemampuan diagnostik antibodi untuk mengenali target mereka, menurut NIH.ting, dan penting untuk memastikan bahwa tes ini dapat mendeteksi virus SARS-CoV-2 karena virus ini terus bermutasi,” kata Bruce J. Tromberg, direktur Institut Nasional Pencitraan Biomedis dan Rekayasa Hayati AS.
“Jika mempertimbangkan siklus varian baru yang tanpa akhir, data dari studi ini akan berguna untuk tahun-tahun mendatang,” paparnya.
Antibodi penangkal
Sejumlah ilmuwan dari China dan Amerika Serikat (AS) berhasil mengembangkan dua koktail antibodi penangkal COVID-19 yang berpotensi menghasilkan ‘pukulan ganda’ untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh varian Omicron yang sedang menyebar luas.
Tim peneliti dari Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi China, Akademi Ilmu Pengetahuan China, dan Universitas Pusat Ilmu Kesehatan Texas di San Antonio, AS, merancang nanobodi bivalen yang dapat memberikan perlindungan berspektrum luas dari sejumlah variant of concern (VOC) SARS-CoV-2, termasuk Omicron.
Varian-varian dengan mutasi adaptif ini menyebabkan wabah baru bahkan di kalangan populasi yang telah divaksinasi.
Dalam dua pengobatan eksperimental terbaru, para peneliti menggabungkan sebuah antibodi yang disebut aRBD-2 dengan dua antibodi lainnya, yang masing-masing bernama aRBD-5 dan aRBD-7, menurut studi yang baru-baru ini dipublikasikan dalam jurnal Cell Research itu.
Pendeteksian struktur kristal mengungkap bahwa ketiga nanobodi itu dapat menetralkan virus corona dengan cara mengikatkan diri ke lokasi yang sangat terlindungi di dalam protein lonjakan (spike protein) pada virus tersebut, menurut penelitian itu.
Lebih lanjut, aRBD-5 dan aRBD-7 mampu mengikatkan diri ke lokasi dengan tingkat perlindungan yang lebih rendah pada protein virus tersebut, sehingga dapat secara efektif meningkatkan afinitas pengikatan keseluruhan dari antibodi ‘2-in-1’ ini.
Pengujian seluler menunjukkan bahwa kedua campuran nanobodi ini, yakni aRBD-2-5 dan aRBD-2-7, mempertahankan aktivitas netralisasi yang kuat saat melawan semua varian utama yang telah diuji, termasuk Omicron BA.1, BA.1.1, dan BA.2.
Pada tubuh model hamster emas Suriah, aRBD-2-5 dapat mengeliminasi virus Omicron BA.1, sebut penelitian itu.
Strategi ini memberikan solusi baru dalam pengembangan antibodi terapeutik berspektrum luas untuk COVID-19, kata para peneliti.
Laporan: Redaksi