Sebelum perang, Suriah memproduksi hingga 80.000 ton pistachio setiap tahun, namun telah berkurang setengahnya selama perang.
Jakarta (Indonesia Window) – Di Kota Maan, Provinsi Hama, Suriah tengah, para petani dan pejabat pemerintah berusaha memulihkan produksi pistachio di kota itu, yang merupakan komoditas penting dalam daftar ekspor Suriah, ke tingkat sebelum perang pada 2011.
Bertahun-tahun penguasaan wilayah itu oleh pemberontak selama lebih dari satu dekade perang saudara telah mengakibatkan sejumlah besar pohon pistachio mati.
Namun yang lebih buruk lagi, para petani pistachio di negara itu menghadapi kendala besar lain yang harus diatasi, yakni sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Suriah.
Jihad Muhammad, kepala kantor pembudidayaan pistachio Aleppo di Kementerian Pertanian Suriah, mengatakan kepada Xinhua bahwa sebagai akibat dari sanksi tersebut, pemerintah Suriah tidak dapat menjamin ketersediaan pupuk dan bahan bakar yang dibutuhkan untuk pertanian, irigasi, dan pengendalian hama.
Pistachio Aleppo yang merupakan tanaman asli Suriah ditanam terutama di Provinsi Hama dan Idlib, dan menurut Muhammad, setengah dari produksi pistachio di Suriah berasal dari Provinsi Hama. Pistachio Aleppo dikenal di negara Arab itu sebagai ‘emas merah’ karena kulitnya yang kemerahan dan harganya yang mahal.
Pejabat itu mengatakan, perkiraan awal menunjukkan bahwa setidaknya 600.000 pohon pistachio, 500.000 di antaranya di Hama, rusak selama perang. Jumlah sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi, imbuhnya.
Sebelum perang, Suriah memproduksi hingga 80.000 ton pistachio setiap tahun, jumlah yang tinggi yang telah berkurang setengahnya selama perang, menurut Kementerian Pertanian Suriah.
Muhammad mengatakan, perkiraan produksi awal untuk tanaman pistachio musim ini di Suriah adalah sekitar 45.592 ton.
Di kebun pistachionya di Maan, Firas Ibrahim, seorang petani, juga menyatakan keprihatinannya tentang ketersediaan pupuk sehubungan dengan sanksi AS.
“Kami sangat menderita akibat embargo ekonomi dalam hal pemasaran produk, serta ketersediaan pupuk, yang tidak kami miliki di Suriah,” katanya kepada Xinhua.
“Pohon pistachio membutuhkan waktu 15 tahun untuk mulai berproduksi, jadi tidak mungkin mengubah pekerjaan kami karena hidup kami bergantung pada pohon itu,” jelasnya.
Yaser Abdul-Karim, seorang pedagang pistachio, mengatakan kepada Xinhua bahwa pistachio Suriah dulunya diekspor ke hampir seluruh dunia, tetapi “sanksi AS telah menghambat proses ekspor dan sangat memengaruhi bisnis pistachio.”
Hingga 2013, Suriah masih menjadi produsen pistachio terbesar keempat di dunia setelah Iran, AS, dan Turki, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
Sumber: Xinhua
Laporan: Redaksi