Dalam beberapa tahun terakhir, disrupsi rantai industri dan rantai pasokan yang disebabkan oleh pandemik COVID-19 serta ketidakpastian geopolitik global telah menunjukkan betapa pentingnya kerja sama lintas perbatasan yang lebih erat dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Jakarta (Indonesia Windo) – Gu Yahong, Wakil Manajer Umum Jiangsu General Science Technology Co., Ltd. di China timur, baru-baru ini terus memantau pembangunan pabrik milik perusahaannya di Zona Ekonomi Khusus Sihanoukville (Sihanoukville Special Economic Zone/SSEZ) ASEAN Plus Tiga yang diinvestasikan China di Kamboja.
Sebelumnya pada awal tahun ini, perusahaan tersebut mulai membangun sebuah basis produksi baru di Kamboja, yang merupakan basis produksi keduanya dengan fokus pada produksi ban di Asia Tenggara.
Basis produksi baru ini menjadi proyek pertama senilai lebih dari 100 juta dolar AS yang diinvestasikan asal Provinsi Jiangsu di negara anggota Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) setelah RCEP mulai diberlakukan.
“Antusiasme kedua pihak untuk memajukan proyek ini bahkan lebih tinggi dari pada suhu udara pada musim panas.” Gu mengatakan, berkat langkah-langkah pemfasilitasan perizinan bea cukai dan konstruksi bersama, batch pertama ban yang diproduksi oleh perusahaan di Kamboja itu akan diluncurkan dari lini produksi pada akhir tahun ini dan mulai diekspor pada Maret tahun depan sesuai rencana.
Tahun ini menandai peringatan 25 tahun kerja sama antara negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, China, Jepang, dan Korea Selatan atau ASEAN Plus Tiga (APT).
Proses kerja sama APT dimulai pascakrisis keuangan Asia. Selama bertahun-tahun, negara-negara anggota saling bergantung dan mendapatkan keuntungan dari satu sama lain dari segi ekonomi, dengan stabil memajukan integrasi ekonomi regional.
Dalam beberapa tahun terakhir, disrupsi rantai industri dan rantai pasokan yang disebabkan oleh pandemik COVID-19 serta ketidakpastian geopolitik global telah menunjukkan betapa pentingnya kerja sama lintas perbatasan yang lebih erat dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Kawasan Industri Suzhou (Suzhou Industrial Park/SIP) China-Singapura, yang didirikan pada 1994 di Suzhou di China timur, telah secara konsisten mengoptimalkan lingkungan bisnis lokal untuk menarik minat perusahaan-perusahaan asing dan meningkatkan kerja sama mendalam antara perusahaan China dan Singapura.
Sejumlah platform layanan seperti Agency for Science, Technology and Research (A*STAR) telah didirikan di SIP untuk memfasilitasi pengoperasian dan pengembangan perusahaan dalam beberapa tahun terakhir. Melalui platform-platform semacam itu, perusahaan dapat saling berbagi fasilitas dan peralatan, serta mendapatkan dukungan untuk biaya penelitian dan akses pasar.
“Pusat kami bertujuan untuk mendukung bisnis-bisnis Singapura saat mereka memasuki pasar China melalui SIP dan melokalisasi industrialisasi dan komersialisasi teknologi mereka. Kami juga dapat memberi tahu kalangan bisnis China bahwa mereka dapat memiliki akses ke seluruh ekosistem penelitian ilmiah Singapura, yang akan memungkinkan mereka untuk menjangkau pasar Asia Tenggara,” kata Tan Chuan Seng, Direktur Pusat A*STAR Partners’ Centre.
Didirikan di Singapura pada 2016, perusahaan Lucence mengkhususkan diri di bidang diagnosis molekuler dan melakukan biopsi cairan menggunakan teknologi pengurutan generasi berikutnya.
“Kami datang ke Suzhou pada 2019 melalui jalur hijau yang dibentuk oleh SIP dan A*STAR Partners’ Centre,” kata Aster Ding, Market Lead Lucence Biotechnology (Suzhou) Limited. “Untuk mendirikan sebuah laboratorium molekuler, kami perlu berinvestasi dalam jumlah besar. Jadi, jika ada platform untuk perusahaan rintisan (startup) seperti kami, kami akan sangat senang.”
Zhang Yueyou, seorang peneliti dari Institut Ekonomi Industri Changjiang di Universitas Nanjing, China timur, menuturkan bahwa baik perusahaan China maupun Singapura telah memulai bisnis dan berinvestasi di sekitar rantai industri utama satu sama lain, yang merupakan contoh tipikal dari kerja sama rantai industri antara China dan negara-negara ASEAN.
Sebelumnya pada tahun ini, Indonesia meluncurkan perusahaan induk pangan milik negara bernama ID Food untuk meningkatkan kepastian dan koordinasi rantai pasokan perusahaan-perusahaan milik negara, kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan dalam pidato via videonya pada Forum ASEAN Plus Tiga tentang kerja sama rantai industri dan rantai pasokan yang digelar di Suzhou pada Juli lalu.
Dia menambahkan bahwa Indonesia akan terus mendorong kerja sama rantai industri dan rantai pasokan, serta kerja sama bisnis lainnya untuk memperkuat ketahanan rantai industri dan rantai pasokan saat dihadapkan dengan berbagai risiko di masa mendatang.
Di bidang-bidang baru, khususnya ekonomi digital, ada lebih banyak peluang untuk menjalin kerja sama yang lebih dalam di antara negara-negara APT.
Ekonomi digital merupakan kekuatan utama yang mendorong pembangunan ekonomi China. Sejak 2012 hingga 2021, persentase ekonomi digital China dalam produk domestik bruto (PDB) negara itu telah meningkat dari 20,9 persen menjadi 39,8 persen, menurut buku putih yang dirilis oleh Akademi Teknologi Informasi dan Komunikasi China.
Beberapa negara ASEAN juga telah mengumumkan rencana mereka untuk pertumbuhan ekonomi digital.
Ekonomi digital Malaysia menyumbangkan sekitar 22,6 persen dari PDB negara itu pada 2021, dan diperkirakan akan mencapai angka 25,5 persen pada 2025, kata Menteri di Departemen Urusan Ekonomi Perdana Menteri Malaysia Mustapa Mohamed dalam pidato via video di forum tersebut.
Dia mengusulkan agar ASEAN Plus Tiga mengupayakan kolaborasi yang lebih besar di bidang digitalisasi guna meningkatkan aktivitas perdagangan dan investasi yang bernilai tambah tinggi serta padat teknologi di kawasan itu.
*1 dolar AS = 14.822 rupiah
Sumber: Xinhua
Laporan: Redaksi