Banner

Luas lautan es Antarktika pada Juli 2022 tercatat terkecil dalam sejarah

Ilustrasi. Luas lautan es di Antarktika (Kutub Selatan) pada Juli 2022 tercatat merupakan yang terkecil, menurut kelompok pemantau satelit Uni Eropa. (Sarah N from Pixabay)

Ini adalah luas lapisan es Antarktika terendah untuk Juli 2022 sejak pencatatan satelit dimulai 44 tahun lalu. Angka ini juga menyamai rekor permukaan es laut Antartika yang rendah untuk Juni.

 

Jakarta (Indonesia Window) – Luas lautan es di Antarktika (Kutub Selatan) pada Juli 2022 tercatat merupakan yang terkecil, menurut kelompok pemantau satelit Uni Eropa.

Layanan Perubahan Iklim Copernicus (C3S) menemukan luas lautan es Antarktika mencapai 15,3 juta kilometer persegi – sekitar 1,1 juta kilometer persegi, atau hanya tujuh persen, di bawah rata-rata sepanjang periode 1991-2020 untuk bulan Juli.

Ini adalah luas lapisan es terendah untuk Juli sejak pencatatan satelit dimulai 44 tahun lalu. Angka ini juga menyamai rekor permukaan es laut Antarktika yang rendah untuk Juni.

Banner

C3S mengatakan luas lapisan es yang rendah di Juli tahun ini melanjutkan serangkaian catatan yang berada di bawah rata-rata yang diamati sejak Februari 2022.

Layanan itu mengatakan dalam buletin bulanannya, Samudra Selatan mengalami “daerah dengan konsentrasi luas lautan es di bawah rata-rata” bulan lalu.

Sementara itu, tutupan es laut Arktik (Kutub Utara) tercatat empat persen lebih rendah dari rata-rata, menjadikannya laut es terendah pada 12 Juli yang pernah tercatat.

Dalam sebulan ini, saat rekor suhu di seluruh bagian Eropa utara dan Inggris, C3S mengatakan Juli lebih kering dari rata-rata untuk sebagian besar benua, mencatat sejumlah rekor curah hujan yang rendah di beberapa lokasi.

“Kondisi ini memengaruhi ekonomi lokal dan memfasilitasi penyebaran dan intensifikasi kebakaran hutan,” jelasnya.

C3S mengatakan kekeringan secara tidak normal juga ditemukan di sebagian besar Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia Tengah, dan Australia pada Juli.

Banner

Perubahan iklim membuat panas ekstrem dan kekeringan lebih mungkin terjadi.

“Kita bisa saja terus menerus melihat periode suhu sangat tinggi yang lebih sering dan lebih lama, karena suhu global semakin meningkat,” kata ilmuwan senior C3S Freja Vamborg.

Layanan tersebut mengatakan bulan lalu lebih basah dari biasanya di Rusia timur, China utara dan di pita basah besar (large wet band) yang membentang dari Afrika timur melintasi Asia hingga barat laut India.

Sumber: AFP

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan