Jakarta (Indonesia Window) – Para pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) sependapat, setidaknya ada lima tokoh nasional yang patut menjadi teladan bagi dunia pers di Indonesia, serta menginspirasi lahirnya SMSI, yakni Adam Malik, PK Ojong-Jakob Oetama, Buya Hamka, dan Fachrodin.
“Kami sependapat bahwa Adam Malik, PK Ojong-Jakob Oetama, Buya Hamka, dan Fachrodin adalah lima dari sekian banyak tokoh nasional yang memberi inspirasi, serta patut untuk diteladani oleh para wartawan dan pengusaha pers, termasuk yang berada di lingkungan SMSI,” kata Wartawan Senior Aat Surya Safaat di Jakarta, Ahad (7/3).
Direktur Pemberitan (Pemimpin Redaksi) Kantor Berita ANTARA 2016 yang juga pernah menjadi Kepala Biro ANTARA di New York tahun 1993-1998 itu mengemukakan keterangan tersebut pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-4 SMSI di Jakarta pada 7 Maret 2021.
Menurut Ketua Bidang Luar Negeri SMSI itu, para pengurus SMSI sepakat menempatkan lima tokoh nasional tersebut sebagai tokoh inspratif bagi para wartawan dan pengusaha pers di Tanah Air, terutama di lingkungan SMSI, masing-masing dengan kiprahnya sebagai berikut yang dihimpun dari berbagai sumber.
Adam Malik
Ketika semangat perjuangan kemerdekaan nasional menggelora dan digerakkan oleh para pemuda pejuang, Adam Malik bersama rekan-rekan seperjuangannya, yakni Soemanang, AM Sipahoetar, dan Pandoe Kartawigoena mendirikan Kantor Berita ANTARA pada 13 Desember 1937.
Keberhasilan ANTARA menyiarkan berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dari Gedung ANTARA di Jalan Antara, Pasar Baru Jakarta Pusat pada 17 Agustus 1945 ke seluruh dunia adalah wujud kecintaan dan baktinya yang besar bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Adam Malik sendiri merupakan personifikasi utuh dari kedekatan antara pers dan diplomasi. Jangan kaget, pria otodidak yang secara formal hanya tamatan SD (HIS) ini pernah menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York.
Kemahirannya memadukan pers dan diplomasi menghantarkannya menimba berbagai pengalaman sebagai duta besar, menteri, Ketua DPR hingga menjadi Wakil Presiden RI.
Pria cerdik berpostur kecil yang dijuluki ‘si kancil’ itu dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara pada 22 Juli 1917 dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis.
Sebagai seorang wartawan, diplomat, bahkan birokrat, ia sering mengatakan ‘semua bisa diatur’. Selaku wartawan dan diplomat, ia memang dikenal selalu mempunyai 1001 jawaban atas segala macam pertanyaan dan permasalahan yang dihadapkan kepadanya.
PK Ojong-Jakob Oetama
Berbicara tentang dua tokoh pers ini, yaitu Petrus Kanisius (PK) Ojong (1920- 1980) dan Jakob Oetama (1931- 2020) sulit menceritakannya secara terpisah, karena selama memimpin Harian Kompas keduanya selalu bersama-sama.
Ojong, lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada 25 Juli 1920. Ayahnya bernama Auw Jong Pauw, pedagang tembaku di Payakumbuh dan ibunya bernama Njo Loan Eng Nio. Kedua orangtuanya memberi nama Auw Ojong Peng Koen yang kemudian menjadi PK Ojong.
Sementara itu Jakob lahir di Desa Jowahan, sekitar 500 meter sebelah timur candi termegah Borobudur di Magelang Jawa Tengah pada 27 September 1931.
Mereka bertemu di Jakarta dan kemudian mendirikan Majalah Intisari dan Harian Kompas. Mereka bersepakat berbagi tugas dalam memimpin Harian Kompas. Ojong menangani administrasi dan bisnis, sementara Jakob menangani bidang keredaksian.
Meskipun Ojong menangani bisnis pers, dia tidak bisa meninggalkan naluri kewartawanannya. Dia kadang-kadang menulis Tajuk Rencana dan mengelola rubrik Kompasiana yang terkenal dan membahas berbagai persoalan di Harian Kompas.
Dalam dunia perusahaan pers, bidang bisnis dan redaksi sama pentingnya, walaupun ada semacam garis demarkasi di antara kedua bidang itu. Kedua bidang tersebut di tangan kedua tokoh itu berkembang secara pesat.
Ojong-Jakob seperti dua sisi keping mata uang. Keduanya berjalan dalam satu ayunan langkah, sama-sama punya latar belakang guru dan wartawan. Keduanya tidak suka tampil, rendah hati, jujur, dan selalu bekerja tuntas. Kemiripan atau kesamaan keduanya mengikat diri mereka untuk mendirikan Majalah Intisari dan Harian Kompas.
Dalam perjalanan mengelola media Intisari dan Kompas, keduanya berbagi tugas dan mereka tidak suka tampil. “Tapi karena saya membidangi redaksi, mau tidak mau harus tampil,” kata Jakob suatu ketika.
Di majalah Intisari dan Harian Kompas, kedua tokoh itu meletakkan pondasi idealisme, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan serta meletakkan filosofi dalam pengembangan perusahaan pers.
Khusus dalam merekrut wartawan dan karyawan, Ojong mengutamakan ‘watak baik’ daripada keterampilan atau skill yang dimiliki. Adapun kekurangan keterampilan, menjurut dia bisa ditingkatkan melalui pelatihan, pendidikan, dan kursus.
Dalam menjamin masa depan karyawan, pemimpin Kompas itu kemudian mengembangkan bisnisnya ke penerbit dan toko buku Gramedia, serta dunia perhotelan yang diberi nama Santika. Tujuannya, kalau Kompas diberangus, karyawan masih ada tempat bekerja.
Ada pesan penting dari Ojong dan Jacob untuk para pengelola perusahaan. Menurut mereka, perusahaan yang baik adalah perusahaan yang dapat menjamin kesejahteraan karyawannya.
Artinya, kalau pemimpin perusahaan tidak ada lagi, perusahaan harus tetap bisa berjalan, sehingga perlu disusun suatu sistem untuk memungkinkan terwujudnya hal itu serta memungkinkan terciptanya kader-kader yang kompeten, profesional, dan berintegritas.
Buya HAMKA
Siapa tak kenal Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka). Beliau adalah seorang ulama kharismatis yang semasa mudanya banyak melewatkan waktu dengan belajar agama serta banyak membaca.
Tokoh nasional yang lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta pada 24 Juli 1981 pada usia 73 tahun itu adalah seorang ulama dan sastrawan, bahkan sejatinya juga adalah seorang wartawan.
Hamka mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Nasional Malaysia, sementara Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta mengukuhkannya sebagai guru besar. Almarhum juga masuk dalam daftar Pahlawan Nasional.
Tokoh nasional itu terjun dalam dunia politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, dan menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama serta aktif di organisasi Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Puluhan buku karyanya telah diterbitkan. Selain itu, Buya Hamka mendirikan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) pada 15 Juni 1959 bersama KH. Faqih Usman, Jusuf Abdullah Puar, dan HM. Joesoef Ahmad.
Perjalanan Buya Hamka dan kawan-kawan di majalah Panjimas dapat menjadi inspirasi untuk melihat hubungan antar ummat Islam, pergulatan pada masa Orde Lama, dan banyak hal yang terjadi di masa (awal) Orde Baru.
Majalah pimpinan Buya Hamka ini turut menyertai perjalanan sejarah penting bangsa ini. Namun, baru setahun terbit, pada Mei 1960, majalah itu diberedel pemerintah.
Dua tahun sesudah Panjimas diberedel, Hamka kembali menerbitkan majalah baru, yaitu Gema Islam.
Meski posisi Hamka hanya membantu, namun almarhum berperan penting di situ, sebab melalui perantara majalah tersebut Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru Jakarta Selatan yang merupakan kantor redaksi Gema Islam kemudian menjadi panggung aktivitas yang identik dengan nama Hamka.
Sesudah kekuasaan Soekarno surut dan PKI dibubarkan, pada 5 Oktober 1966 Majalah Panjimas kembali terbit. Sebagai ‘corong’ umat, Panjimas termasuk majalah umat yang berumur panjang.
Saat media umat lainnya patah tumbuh dalam siklus yang cepat, Panjimas adalah corong umat Islam yang bertahan lama, bukan hanya melewati fase Orde Lama, tapi juga hingga melewati Orde Baru.
Meskipun penerbitan Panjimas timbul tengggelam, generasi penerus Hamka terus berupaya menghidupkan semangat majalah tersebut sebagai penyambung lidah umat Islam di Indonesia.
Terakhir, media yang didirikan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka itu, pada Maret 2019 hadir dalam bentuk daring di situs panjimasyarakat.com. Semangat yang dibawanya adalah menyuarakan prinsip-prinsip Islam yang memberi kedamaian bagi bangsa Indonesia.
Fachrodin
Haji Fachrodin adalah pelopor pers Muhammadiyah. Sosok kader dan tokoh Muhammadiyah generasi awal ini banyak belajar dari pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan serta belajar secara otodidak. Biarpun tidak mengenyam pendidikan umum, ia bertumbuh menjadi seorang penulis yang tajam dan disegani.
Fachrodin menjadi orang pertama yang memimpin redaksi majalah Soewara Moehammadijah. Ia merintis penerbitan media itu pada 1915 dan menjadi Pemred pertama, sementara KH. Ahmad Dahlan duduk di jajaran redaksi bersama HM. Hisyam, RH. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito, dan KRH. Hadjid.
Ia mengawali karir di dunia pergerakan ketika belajar jurnalistik kepada Mas Marco Kartodikromo. Ketika Mas Marco bersama beberapa jurnalis bumiputra menerbitkan surat kabar Doenia Bergerak pada 1914, Fachrodin dipercaya menjadi penulis tetap yang bertanggungjawab memberikan informasi kepada publik di kawasan Yogyakarta.
Fachrodin dengan pikiran-pikirannya yang cerdas dan tajam selalu berusaha memperjuangkan nasib rakyat, termasuk membangkitkan perlawanan kaum buruh di Yogyakarta terhadap pemerintah Belanda.
Pada 1919, wartawan yang juga piawai berdakwah itu menerbitkan surat kabar pekanan Srie Diponegoro. Tulisannya di pekanan tersebut dihiasi dengan gambar ilustrasi yang menunjukkan salah satu kreativitas Fachrodin dalam bidang jurnalistik.
Haji Fachrodin meninggal dunia tahun 1929. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah memberikan almarhum anugerah Pahlawan Nasional lewat Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 162 tahun 1964.
Kini surat kabar Soewara Moehammadijah yang dirintisnya pada 1915 itu bertumbuh menjadi majalah Suara Muhammadiyah dan suaramuhammadiyah.id.
Tahun 2021 ini majalah tersebut menapaki usia 106 tahun, usia yang relatif matang bagi dunia pers di Tanah Air.
Laporan: Redaksi