Jakarta (Indonesia Window) – Menggunakan gawai elektronik, terutama ponsel cerdas, semakin jamak dan menembus lapisan usia dan kelas sosial.
Ponsel cerdas ini tak bisa dipungkiri telah “menolong” banyak orang dalam menyelesaikan berbagai urusan sehari-hari, tak hanya dalam hal berkomunikasi namun juga mendukung transportasi, transaksi keuangan, memperoleh informasi dalam waktu cepat, juga menikmati hiburan.
Namun, ada bahaya besar mengintai dari kebiasaan menggunakan ponsel secara berlebihan yang membuat orang merasa ketakutan ketika tak dapat memakai alat tersebut karena beberapa alasan, seperti tidak adanya sinyal, pulsa, atau kehabisan daya baterai.
Rasa takut tak masuk akal yang disebut nomofobia itu semakin mengejutkan karena anak-anak – yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai elektronik – memiliki risiko besar terjangkit gejala tersebut.
Sebuah penelitian menemukan bahwa 66 persen orang di Eropa memiliki nomofobia yang membuat mereka tidak dapat melarikan diri dari ponsel, kata seorang pakar, lapor Kantor Berita Anadolu baru-baru ini.
Sementara itu, survei tahun 2019 yang diterbitkan oleh Mediacompany menemukan bahwa remaja Eropa usia 13-18 tahun, rata-rata menghabiskan 6,5 jam per hari di media sosial dan kegiatan lain seperti video game.
Sebuah laporan penelitian 2019 lainnya menemukan bahwa 24 persen dari anak berusia 13 hingga 17 tahun ditemukan sedang online “hampir terus-menerus” dan 73 persen memiliki ponsel cerdas atau akses ke ponsel.
Sementara itu, sekelompok ilmuwan syaraf ingin mengetahui apakah paparan gawai elektronik bisa merusak kesehatan neurologis, terutama pada anak-anak dan remaja yang otaknya masih berkembang.
Tim peneliti Universitas Korea di Seoul, Korea Selatan baru-baru ini menerbitkan sebuah penelitian yang menemukan bahwa kecanduan ponsel cerdas menciptakan ketidakseimbangan otak kimiawi yang terkait dengan depresi dan kecemasan pada kalangan muda.
Laporan: Redaksi