Tarif hukuman UE terhadap kendaraan listrik China berisiko mengganggu kestabilan untuk mencapai tujuan-tujuan aksi iklim, memperlambat dekarbonisasi sektor transportasi, dan membatasi pilihan konsumen.
Berlin, Jerman (Xinhua) – Industri otomotif Jerman pada Kamis (4/7) menolak tarif hukuman Uni Eropa (UE) terhadap mobil listrik asal China, yang akan diberlakukan mulai Jumat (5/7).
Sejumlah tarif tambahan hingga 37,6 persen akan diberlakukan untuk sementara waktu, saat pembicaraan dengan China berlanjut. Keputusan akhir perihal tarif tersebut akan ditetapkan pada awal November. Hingga saat itu tiba, para importir harus menyetor nilai jaminan yang setara dengan potensi bea masuk.
Bea masuk tambahan itu “tidak sejalan dengan penguatan daya saing industri otomotif Eropa,” ujar Hildegard Mueller, presiden Asosiasi Industri Otomotif (Verband der Automobilindustrie/VDA) Jerman, kepada Xinhua dalam wawancara tertulis.
Sikap ini juga ditunjukkan oleh seluruh sektor otomotif Jerman. Michael Schumann, Ketua Dewan Asosiasi Federal Jerman untuk Pembangunan Ekonomi dan Perdagangan Luar Negeri, turut menyuarakan sentimen VDA.
“Sikap kami perihal tarif hukuman UE terhadap mobil listrik China tidak berubah,” ungkapnya kepada Xinhua. “Kami menolaknya secara lantang juga tegas dan dengan demikian kami sependapat dengan seluruh industri otomotif Jerman, yang beberapa pihak di antaranya terdampak oleh tarif tersebut.”
Dia menyerukan kepada kedua pihak agar menyelesaikan konflik sebelum tarif hukuman itu mulai diberlakukan, sembari menekankan bahwa demi kepentingan tujuan lingkungan dan konsumen Eropa, UE memerlukan akses terhadap mobilitas listrik (e-mobility), di mana China berperan sebagai pemimpinnya.
Pabrikan kendaraan di Eropa masing-masing juga bersikap skeptis perihal usulan tarif tersebut. Mercedes-Benz, pabrikan mobil asal Jerman, menekankan pentingnya perdagangan yang bebas dan adil. “Jika tren umum menuju proteksionisme menguat, hal ini memiliki konsekuensi ekonomi yang negatif bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat,” kata perusahaan itu kepada Xinhua.
BMW, kompetitor domestik Mercedes-Benz, juga mengkritik langkah UE tersebut. “Pemberlakuan bea masuk impor tambahan mengarah ke jalan buntu,” tutur Oliver Zipse, ketua Dewan Manajemen BMW AG, dalam sebuah pernyataan kepada Xinhua.
Sebagai bagian dari Kesepakatan Hijau (Green Deal), UE menargetkan untuk mencapai kondisi netral iklim per 2050 dan mengurangi gas rumah kaca setidaknya 55 persen pada 2030 dibandingkan dengan level pada 1990. Blok itu memusatkan perhatian pada perluasan transportasi listrik.
Tarif hukuman UE itu berisiko mengganggu kestabilan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, memperlambat dekarbonisasi sektor transportasi, dan membatasi pilihan konsumen, yang diklasifikasikan oleh Zipse sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pendirian UE.
Pendaftaran kendaraan listrik baterai (battery-electric vehicle/BEV) baru di UE telah menurun. Menurut Asosiasi Produsen Mobil Eropa (European Automobile Manufacturers’ Association/ACEA), hanya terdapat 114.308 unit mobil semacam itu yang terdaftar pada Mei, turun 12 persen secara tahunan (year-on-year). Pangsa pasarnya juga merosot dari 13,8 persen menjadi 12,5 persen pada periode yang sama.
Secara historis, UE telah memperoleh manfaat dari keterbukaannya terhadap perdagangan internasional, dengan Jerman meraup surplus yang cukup besar dalam perdagangan otomotif dengan China. Menurut VDA, pada tahun lalu, perekonomian terbesar di Eropa tersebut mengekspor mobil dan suku cadang senilai 26,3 miliar euro atau setara 28,4 miliar dolar AS ke China, sementara nilai impor dari China mencapai 6,8 miliar euro.
Potensi kerugian akibat bea masuk tambahan yang saat ini diberlakukan untuk sementara waktu “kemungkinan melampaui potensi keuntungan dari meningkatnya isolasi pasar bagi industri otomotif Eropa dan terutama industri otomotif Jerman,” seperti diperingatkan oleh Presiden VDA Hildegard Mueller.
Schumann memperingatkan UE agar tidak mendasarkan keputusan mereka pada motif ideologis, sembari mendesak Brussel untuk bertindak “sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya.”
*1 euro = 17.629 rupiah
**1 dolar AS = 16.387 rupiah
Laporan: Redaksi