Saat perang skala besar Israel di Jalur Gaza memasuki bulan kesepuluh, warga Palestina di daerah kantong pesisir yang terkepung itu telah terperangkap dalam siklus pengungsian dan keputusasaan yang tak berujung.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Yaser Adul Hadi, seorang pria Palestina berusia 52 tahun yang mengungsi dari Gaza utara, telah menjalani relokasi kedelapannya menyusul perintah evakuasi Israel dari Khan Younis di Gaza selatan.
“Setelah setiap perintah evakuasi, tentara Israel melancarkan operasi militer yang brutal, membuat daerah tersebut menjadi tidak layak huni,” keluh ayah tujuh anak itu.
“Tempat-tempat di mana saya paling berisiko mengalami kematian sebenarnya adalah daerah-daerah yang diklaim tentara (Israel) sebagai tempat yang aman. Hanya keberuntungan yang mampu menyelamatkan saya dari kematian. Kini, saya tidak bisa berharap untuk hidup lebih lama,” katanya.
“Tampaknya tentara (Israel) ingin membunuh kami semua tanpa terkecuali. Jika bukan karena aksi pengeboman, maka itu karena penindasan, kelelahan, dan pengungsian,” tambah pria tersebut.
Saat perang skala besar Israel di Jalur Gaza memasuki bulan kesepuluh, warga Palestina di daerah kantong pesisir yang terkepung itu telah terperangkap dalam siklus pengungsian dan keputusasaan yang tak berujung.
Saat ini, hanya 14 persen daerah di Jalur Gaza yang tidak berada di bawah perintah evakuasi, ujar Komisaris Jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) Philippe Lazzarini di platform media sosial X pada Ahad (28/7).
“Setiap selang sehari, otoritas Israel mengeluarkan perintah-perintah ini yang memaksa warga untuk mengungsi, memicu kekacauan dan kepanikan. Sering kali, orang-orang hanya memiliki waktu beberapa jam untuk mengemas apa pun yang mereka bisa bawa dan terus berulang, sebagian besar dengan berjalan kaki atau menaiki gerobak keledai yang penuh sesak bagi mereka yang mampu membayar,” ujar Lazzarini.
Di Jalur Gaza tengah, ribuan warga Palestina mengungsi dari kamp pengungsi Bureij dan daerah pinggirannya setelah perintah evakuasi terbaru Israel pada Minggu.
“Kami tidak memiliki kesempatan untuk lolos dari kematian. Kami dipaksa melakukan apa yang mereka perintahkan, atau kami pasti akan mati,” ungkap Suhad Abu Hjaier, seorang wanita Palestina dari Bureij, kepada Xinhua.
“Kami sangat lelah. Selama lebih dari sembilan bulan, kami tidak punya waktu istirahat atau harapan bahwa perang yang keji ini akan segera berakhir,” kata ibu empat anak berusia 36 tahun itu.
Suhad dan ribuan orang lainnya terpaksa berjalan kaki beberapa kilometer karena minimnya transportasi. Dia terpaksa tidur di tempat terbuka bersama anak-anaknya.
“Dunia berharap kami melakukan apa? Haruskah kami berterima kasih kepada mereka atas sikap diam mereka, atau haruskah kami semua mati di sini tanpa bisa berteriak dan menangis atas situasi kami?” ungkapnya.
Pada 22 hingga 25 Juli, sekitar 182.000 orang mengungsi dari wilayah tengah dan timur Khan Younis ke daerah Al Mawasi, yang ditetapkan sebagai “zona kemanusiaan” oleh otoritas Israel. Sekitar 12.600 orang mengungsi dari kamp pengungsi Bureij ke kamp pengungsi Maghazi dan Nuseirat di Deir al Balah, Gaza tengah, menurut statistik PBB.
Sebelumnya pada bulan ini, Abu Khaled al-Hussary (72) memilih untuk tetap tinggal di Gaza City meski ada perintah evakuasi. Dia meninggal dunia di rumahnya.
“Ayah saya tidak ingin meninggal di daerah-daerah sebelah selatan Gaza. Dia yakin tidak ada tempat yang aman di Gaza,” tutur Khaled al-Hussary, putra pria lanjut usia tersebut, kepada Xinhua.
“Setiap hari, kami kehilangan orang-orang terkasih, rumah, harapan, dan hak untuk hidup sampai perang ini berakhir,” imbuhnya.
Laporan: Redaksi