Jakarta (Indonesia Window) – Ketika Zhang Han menginjakkan kakinya ke dalam Museum Liangzhu di Hangzhou, ibu kota Provinsi Zhejiang, China timur, bocah berusia 10 tahun itu mengenakan sepasang kacamata realitas bertambah (augmented reality/AR) dan memulai tur yang membawanya kembali ke era lebih dari 5.000 tahun yang lalu.
Dari artefak batu giok yang sangat indah hingga tembikar, museum tersebut memamerkan berbagai benda pemakaman yang ditemukan di Reruntuhan Arkeologi Kota Liangzhu, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO. Reruntuhan itu memperoleh pengakuan dari seluruh dunia karena menjadi bukti atas keberadaan peradaban China yang setidaknya telah berumur 5.000 tahun.
Dengan mengenakan kacamata pintar itu, Zhang disuguhi gambar-gambar virtual relik dan informasi latar belakang yang terkait, seperti skenario kehidupan di mana relik itu digunakan, fungsi, dan signifikansi kebudayaan relik tersebut.
“Ini perjalanan yang luar biasa. Semuanya sesuai seperti kenyataan,” kata Zhang, yang berasal dari Kota Tianjin, China utara.
Kacamata AR menjadi salah satu dari serangkaian langkah yang diambil oleh pihak museum untuk memberikan pengalaman yang lebih jelas dan langsung tentang peradaban Liangzhu kepada para pengunjung, sekaligus membantu mereka lebih memahami kebudayaan China.
Para wisatawan juga dapat mengunjungi situs jejaring resmi Museum Liangzhu untuk menikmati tur virtual melalui gambar-gambar berdefinisi tinggi dan realitas virtual (virtual reality/VR). Dengan hanya mengeklik mouse, mereka bisa mendapatkan akses ke ruang-ruang pameran yang mungkin tidak akan pernah bisa mereka kunjungi secara fisik.
Beragam teknologi canggih semakin memainkan peran utama di museum-museum di China. Jauh sebelum adanya pameran digital relik-relik budaya, teknologi digital pernah digunakan secara luas dalam penelitian arkeologi dan perlindungan warisan budaya, tutur Ma Dongfeng, Direktur Eksekutif Museum Liangzhu.
Sebuah pusat pemantauan mahadata (big data) telah didirikan untuk melestarikan reruntuhan Liangzhu di dekat museum itu dengan lebih baik lagi. Pusat itu memantau ketat suhu, kelembapan, dan arus wisatawan. Jika data dari situs-situs tertentu melampaui batas, upaya tanggap darurat akan diluncurkan, tutur Ma.
Di Kota Dunhuang, China barat laut, yang dikenal sebagai lokasi kompleks Gua Mogao, yang juga situs Warisan Dunia UNESCO, “proyek Dunhuang digital” memanfaatkan digitalisasi secara ekstensif. Hingga akhir 2021, proyek itu telah merampungkan koleksi digital 268 gua, pemrosesan gambar 164 gua, dan rekonstruksi tiga dimensi (3D) 45 patung pahatan berwarna, 146 gua, dan tujuh situs relik berukuran besar.
Upaya perlindungan dan menghidupkan kembali budaya kuno Dunhuang ini bukanlah satu-satunya di China. Kompleks Gua Yungang di Provinsi Shanxi juga memiliki “arsip digital” 3D, yang memungkinkan beragam relik budaya dan arsip historis yang berharga dapat dilestarikan secara permanen.
“Teknologi digital memungkinkan kami untuk merekam dan melestarikan relik-relik budaya dengan lebih baik, yang merupakan harta karun tak terbarukan,” ujar Ma. “Ini merupakan cara yang efektif bagi kami untuk mewujudkan tujuan akhir kami, yakni melestarikan warisan budaya dan menyebarkan pengetahuan historis dan budaya di baliknya.”
Di masa mendatang, Museum Liangzhu akan meningkatkan platform digitalnya dan mengeksplorasi lebih banyak sumber daya untuk dapat menceritakan kisah historis peradaban China dengan lebih baik lagi, imbuh Ma.
Penulis: Huang Yitong, Zhu Hongxu, dan Cheng Lu
Sumber: Xinhua