Petugas polisi di AS kelelahan akibat pandemik dan kecewa atas seruan untuk berhenti dari kepolisian, mendorong mereka mengundurkan diri atau pensiun lebih awal sebelum pengganti mereka direkrut.
Jakarta (Indonesia Window) – Insiden pembunuhan dan kekerasan dengan senjata api meningkat di seluruh wilayah Amerika Serikat (AS), sementara petugas polisi yang kelelahan akibat pandemik dan kecewa atas seruan untuk berhenti dari kepolisian memutuskan untuk mengundurkan diri atau pensiun lebih awal sebelum pengganti mereka direkrut, menurut laporan terbaru dari kantor berita The Associated Press.
“Banyak departemen berebut untuk merekrut di pasar tenaga kerja yang ketat dan juga memikirkan kembali layanan apa yang dapat mereka berikan dan peran apa yang harus dimainkan polisi di komunitas mereka,” sebut laporan itu. “Banyak (departemen) menugaskan petugas veteran untuk berpatroli, memecah tim khusus yang telah dibentuk selama puluhan tahun demi menangani panggilan 911.”
“Kami mendapat lebih banyak panggilan untuk bertugas, sementara jumlah petugas yang bisa menjawabnya semakin sedikit,” kata Juru Bicara Kepolisian Philadelphia Eric Gripp, yang departemennya telah merotasi karyawan dari unit khusus untuk tugas-tugas singkat demi meningkatkan patroli, seperti dikutip dalam laporan tersebut.
“Ini bukan hanya masalah di Philadelphia. Departemen di berbagai daerah mencatat penurunan dan perekrutan menjadi sulit untuk dilakukan,” katanya.
Los Angeles, yang mencatat penurunan sebanyak lebih dari 650 petugas jika dibandingkan dengan jumlah staf sebelum pandemik, telah menutup unit penyiksaan hewan dan mengurangi jumlah anggota unit perdagangan manusia, narkotika, dan detail senjata, serta mengurangi tim penjangkauan tunawisma hingga 80 persen, menurut laporan itu.
Fenomena ini mengikuti tren nasional, yaitu di saat tindak kejahatan nonkekerasan menurun selama pandemik, tingkat pembunuhan naik hampir 30 persen pada 2020 dan tingkat insiden penyerangan naik 10 persen, menurut laporan tersebut mengutip Brennan Center for Justice.
Selain itu, masyarakat AS juga tengah menghadapi meningkatnya kejahatan bermotif kebencian (hate crime), yaitu tindak kejahatan yang dimotivasi oleh prasangka terhadap ras, orientasi seksual, agama, jenis kelamin, negara asal, atau faktor lainnya, demikian dilaporkan oleh situs jejaring berita LIHerald.com pada Senin (22/8).
“Pada 2020, terdapat lebih dari 8.000 kasus kejahatan bermotif kebencian yang dilakukan di Amerika Serikat (AS), naik dari 7.000 lebih pada tahun sebelumnya,” menurut laporan itu.
Persentase terbesar dari kejahatan bermotif kebencian dimotivasi oleh ras, etnis, dan keturunan, papar laporan itu mengutip FBI. Disebutkan pula bahwa “retorika stigmatisasi seputar pandemi COVID-19 dan wabah cacar monyet hanya semakin memicu kekerasan.”
Para pembuat kebijakan telah berupaya mengurangi jenis kejahatan ini setidaknya sejak 1968, ketika undang-undang (UU) federal pertama tentang kejahatan bermotif kebencian diloloskan dengan Segmen I dari UU Hak Sipil, papar laporan itu.
“Beberapa negara bagian juga telah memberlakukan UU kejahatan bermotif kebencian versi mereka sendiri, yang sering kali lebih ketat. Faktanya, saat ini terdapat 46 negara bagian yang memberlakukan UU kejahatan bermotif kebencian. Namun, UU yang diberlakukan berbeda-beda di setiap negara bagian, dan terkadang perbedaannya substansial,” tambah laporan itu.
Sumber: Xinhua
Laporan: Redaksi