Banner

Kajian Ilmiah – Tak melulu buat lelaki, poligami pun ‘untungkan’ kaum perempuan

Ustadz Dr. Muhamad Arifin Badri, yang juga merupakan Ketua Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi’i (STDIIS) Jember, mengunjungi salah satu ‘booth’ pameran Muslim LifeFair yang digelar Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI) Korwil Bogor, di ICC BRIN Cibinong, pada Sabtu (1/6/2024). (Indonesia Window)

Poligami mungkin merupakan topik ter-polemik sepanjang masa di kalangan kaum Muslimin sendiri, meskipun telah diatur dalam syariat Islam.

 

Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Meskipun merupakan bagian dari syariat Islam, ‘poligami mungkin merupakan topik ter-polemik sepanjang masa di kalangan Umat Islam sendiri.

Namun demikian, “ingatlah kaidah bahwa seluruh ajaran Islam mengandung maslahat. Syariat Islam tidak pernah merugikan, justru membawa kebaikan,” ujar Ustadz Dr. Muhamad Arifin Badri, saat menyampaikan pemaparan dalam talkshow bertema ‘Poligami: Solusi atau Gengsi’ pada pameran Muslim LifeFair yang digelar Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI) Korwil Bogor, di ICC BRIN Cibinong, pada Sabtu (1/6).

Ketua Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi’i (STDIIS) Jember, Jawa Timur, itu menekankan, poligami sudah pasti menguntungkan kaum pria, “karena di sana dia disanjung, di sini dipuji. Tapi bagaimana dengan kaum putri-nya.”

Jika sebagai bagian dari syariat Islam membawa kemaslahatan bagi semua, termasuk perempuan, maka apa sajakah kebaikan atau keuntungan poligami bagi kaum perempuan.

Banner

Ust. Arifin melanjutkan, bagi kaum perempuan, poligami membuat “pintu surga semakin dekat, dan pintu neraka semakin jauh.”

“Tapi saya ingin masuk surga bukan dari pintu poligami, ustadz,” ujar Ust. Arifin mengulang pernyataan yang sering disampaikan oleh kaum wanita terkait poligami, seraya meyakinkan bahwa “poligami itu disyariatkan untuk menguntungkan ibu semua.”

Dalam menerangkan hal tersebut, Ust. Arifin menyampaikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (radliallahu ‘anhuma), “ … Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya (neraka) adalah para wanita. Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?’. Beliau menjawab, ‘Disebabkan kekufuran mereka’. Ada (sahabat) yang bertanya kepada beliau, ‘Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?’. Beliau menjawab, ‘(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami)’.”

“Wanita paling mudah jatuh kepada ke-kufuran atau lupa pada kebaikan suaminya. Sehingga ketika poligami, maka pintu neraka sedikit demi sedikit menjauh karena peluang untuk kufur semakin terbagi,” ucap ustadz, seraya memberikan analogi bahwa kaum wanita itu “limited edition” disebabkan akan mengalami menopause di usia 48-50 tahun, sementara laki-laki di umur yang sama masih mampu produktif.

“Kalau dalam kompetisi, yang satu masih bisa berlari kencang, sedangkan yang satu lagi sudah sampai finish,” tutur ustadz Pembina KPMI Pusat tersebut.

Di sisi lain, lanjutnya, tidak seperti perempuan yang geraknya dibatasi oleh syariat Islam (demi menjaga kehormatannya), laki-laki dibolehkan berinteraksi di luar rumah sehingga kemungkinan menghadapi godaan semakin jauh lebih besar. “Maka bagi kaum wanita, menjaga fondasi rumah tangga semakin berat.”

Banner

Ketentuan poligami

Walapun poligami bisa membuat seorang lelaki “menjadi raja di suatu tempat, dan menjadi pujangga di tempat lain,” ada sejumlah hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh kamu pria sebelum melakukan poligami.

“Hukum poligami bisa menjadi haram jika seorang suami tidak mampu menafkahi istri pertama, baik secara fisik maupun finansial,” tutur Ust. Arifin, sembari menegaskan bahwa dalam Islam hukum menikah ada lima, mulai dari wajib, sunnah, mubah, hingga makruh bahkan haram.

“Menikah pertama kali untuk seorang pemuda saja mengharuskan mampu, dan jika tidak mampu maka berpuasa,” ujarnya mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Al-Baihaqi.

“Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”

“Cukup termasuk dosa besar jika kamu (para suami) abai terhadap kebutuhan istri dan anak-anak kalian,” tegas Ust. Arifin. “Istri boleh membantu keuangan keluarga, tapi ini hukumnya tidak wajib. Dan jika seorang istri memiliki harta, maka boleh digunakan untuk kebutuhannya sendiri,” lanjutnya.

Banner

Kisah-kisah poligami

Poligami memang bukan hal yang mudah, sebab dalam sejarah Islam bahkan Rasulullah ﷺ sendiri pun pernah menolak rencana Ali bin Thalib (radliallahu ‘anhu) untuk melamar anak perempuan Abu Jahal.

“Kata Rasulullah ﷺ, ‘Aku tidak rela jika putri-ku disatukan dengan putri dari musuh Allah’,” ujar Ust. Arifin, menekankan bahwa penolakan tersebut bukan menyasar poligami, namun diucapkan oleh Nabi Allah dalam kapasitasnya sebagai seorang ayah.

Selain itu, lanjut ustadz, kisah Nabi Ibrahim ‘alaihi salam bersama istri pertamanya, Sarah, dan istri keduanya Hajar menunjukkan betapa tidak ringannya poligami bagi kaum perempuan.

Sarah awalnya mengira dirinya bisa menahan rasa cemburu terhadap Hajar karena merasa levelnya berada jauh di atas mantan budaknya itu. Namun, besarnya rasa sayang suami tercinta-nya kepada madunya, terutama dengan setelah lahirnya Ismail ‘alaihi salam, membuat Sarah cemburu.

Rasa cemburu juga pernah ‘menyerang’ Ummu Salamah radliallahu ‘anha yang sempat menolak lamaran Nabi Allah ﷺ karena menyadari dirinya sangat pencemburu. Sampai-sampai Rasulullah ﷺ memberikan doa kepada Ummu Salamah untuk menghilangkan atau mengendalikan rasa cemburunya itu, dan akhirnya menerima pinangan Nabi ﷺ.

Banner

Di penghujung pemaparannya mengenai poligami, Ust. Arifin mengimbau agar pasangan Muslim dan Muslimah meninjau kembali “sebetulnya saya menikah uat apa. Apakah menikah hanya untuk berorientasi pada eksploitasi terhadap satu hal tanpa memedulikan kepentingan orang lain, atau menikah benar-benar ingin membangun generasi Islam sesuai syariat.”

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan