Pertunjukan wayang potehi diperkirakan masuk beberapa abad lalu bersamaan dengan kedatangan para pedagang China ke Indonesia, khususnya di wilayah Semarang, Jawa Tengah.
Jakarta (Xinhua) – Momentum Tahun Baru Imlek menjadi harapan bagi wayang potehi, sebuah pertunjukan khas perpaduan budaya China dan Indonesia, untuk tetap hidup di tengah ancaman kepunahan. Jumlah dalang yang melestarikan kesenian ini diperkirakan tersisa kurang dari 10 orang di Indonesia sementara regenerasi terhambat.
Sugiyo Waluyo atau yang akrab disapa Subur merupakan salah satu dari sedikit dalang wayang potehi yang saat ini masih tersisa. Sejak awal Februari, dia diundang ke Jakarta untuk menampilkan wayang potehi di Mal Ciputra selama 25 hari, tampil dalam tiga sesi pertunjukan per hari.
“Kisah yang saya bawakan berupa serial, setiap harinya bersambung,” ujarnya saat ditemui di Mal Ciputra Jakarta pada Jumat (9/2).
Cerita yang dibawakan tahun ini berkisah tentang perjuangan seorang pendekar menyingkap kejahatan seorang pejabat pemerintahan yang membangun paviliun indah di atas penderitaan rakyat. Konflik dalam cerita dikembangkan dan coba diceritakan Subur selama lebih dari tiga pekan, tiga sesi per hari, dan satu sesi kurang lebih satu jam.
Subur rutin tampil membawakan wayang potehi di Mal Ciputra setiap Tahun Baru Imlek sejak dua dekade terakhir. Di luar undangan mengisi hiburan Imlek, pria 62 tahun itu biasanya tampil di klenteng-klenteng untuk merayakan beberapa hari penting.
Namun, kini dia dirundung kekhawatiran karena regenerasi berhenti. Dalam satu dekade terakhir, beberapa dalang telah meninggal sementara tidak ada generasi muda yang benar-benar serius menggeluti kesenian ini.
Dia memperkirakan tersisa sekitar lima orang dalang wayang potehi berdasarkan kontak komunikasi yang masih ada di antara para seniman. “Jika tidak ada regenerasi dari anak-anak muda, wayang potehi akan punah, sebab sudah banyak rekan-rekan saya yang meninggal,” ujarnya.
Kesenian ini punya sejarah panjang dalam hubungan kebudayaan antara Indonesia dan China. Wayang potehi diperkirakan masuk beberapa abad lalu bersamaan dengan kedatangan para pedagang China ke Indonesia, khususnya di wilayah Semarang, Jawa Tengah. Kesenian ini biasanya dibawakan oleh tiga pemain alat musik, satu dalang dan satu asisten dalang. Kesenian ini diperkirakan berasal dari pertunjukan boneka tradisional dari bagian selatan Provinsi Fujian, China timur.
Subur menyebut butuh waktu yang panjang untuk menjadi seorang dalang. Dia sendiri sudah berkecimpung sejak 50 tahun lalu, tetapi baru benar-benar siap menjadi dalang setelah dua dekade mencoba semua posisi seperti asisten dalang dan pemain alat musik.
Proses panjang menjadi dalang juga jadi alasan lain regenerasi yang minim. Walhasil, pertunjukan wayang potehi semakin sulit dijumpai kecuali pada momen tertentu seperti Tahun Baru Imlek.
Kelangkaan itulah yang membawa Milana, seorang wanita asal Bekasi, untuk rela menempuh perjalanan sekitar satu jam menggunakan kereta dari tempat tinggalnya menuju Mal Ciputra di Jakarta Barat guna menyaksikan pertunjukan wayang potehi.
“Saya pernah nonton wayang potehi di Kawasan Pecinan Glodok pada tahun lalu dan ceritanya menarik, sehingga tahun ini saya coba ke sini karena penasaran dengan cerita yang akan dibawakan,” ujarnya saat ditemui di Mal Ciputra.
Namun, Milana pun ikut khawatir dengan eksistensi kesenian ini yang perlahan makin redup. Dia menyarankan cerita yang dibawakan lebih sederhana agar mudah diterima anak usia dini. Terpantau banyak anak kecil yang ikut menyimak penampilan Subur di Mal Ciputra kendati mereka tidak memahami pesan yang disampaikan.
Pemerintah juga perlu memberikan lebih banyak dukungan untuk pelestarian kebudayaan ini. Milana menyarankan pemerintah bisa menghadirkan wayang potehi lebih rutin di beberapa tempat publik yang kental kebudayaan China seperti Kawasan Pecinan Glodok, Old Shanghai di Jakarta Timur, maupun kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta Utara.
Sementara itu, sebagai pelaku seni, Subur meminta pemerintah memberikan dukungan logistik seperti pengadaan alat musik hingga seragam. Beberapa alat musik, kata dia, masih cukup sulit didapati karena harus dibeli langsung dari China.
Laporan: Redaksi