Banner

Pejabat PBB sebut perang saudara berpotensi perburuk kerawanan pangan di Sudan

Foto yang diabadikan dengan ponsel pada 14 April 2024 ini menunjukkan pemandangan pasar yang hancur di Omdurman, Sudan. Dahulu selalu dipadati oleh pelanggan dan penuh dengan barang dagangan, pasar itu kini menjadi seperti kota hantu akibat konflik mematikan antara Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF). Sejak konflik meletus pada 15 April 2023, sebanyak 14.790 korban jiwa telah dilaporkan, sementara jumlah orang yang mengungsi di dalam dan di luar Sudan telah mencapai 8,2 juta orang, menurut laporan dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pada Minggu (14/4). (Xinhua/Mohamed Khidir)

Penyebaran dan eskalasi pertempuran di Negara Bagian Gezira, yang merupakan lumbung pangan Sudan, menjadi ancaman signifikan bagi produksi pangan nasional, mengingat negara bagian itu menyumbang sekitar 50 persen dari produksi gandum dan 10 persen dari produksi garai atau sorghum.

 

Khartoum, Sudan (Xinhua) – Perang yang sedang berlangsung di Sudan berpotensi memperburuk kerawanan pangan di seluruh wilayah negara itu, demikian disampaikan seorang pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyerukan dukungan pertanian yang mendesak untuk Sudan.

“Skala dan tingkat keparahan kelaparan di seluruh Sudan sangat memprihatinkan,” ungkap Yang Hongjie, perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) PBB di Sudan, kepada Xinhua dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

“Sekitar 17,7 juta orang mengalami tingkat kerawanan pangan akut yang tinggi antara Oktober 2023 dan Februari 2024, jumlah tertinggi yang pernah tercatat selama musim panen,” ujarnya.

Meninjau bahwa konflik merupakan pendorong utama krisis kelaparan ini, pejabat PBB tersebut menjelaskan bahwa sembilan dari sepuluh orang yang menghadapi kerawanan pangan akut berada di daerah-daerah konflik, yaitu di wilayah Darfur dan Kordofan, serta negara bagian Khartoum dan Gezira.

Penyebaran dan eskalasi pertempuran di Negara Bagian Gezira, yang merupakan lumbung pangan Sudan, menjadi ancaman signifikan bagi produksi pangan nasional, mengingat negara bagian itu menyumbang sekitar 50 persen dari produksi gandum dan 10 persen dari produksi garai atau sorghum, kata Yang.

Menjelaskan prospek produksi pangan pada 2024 di negara tersebut sebagai “suram,” dia mengatakan bahwa FAO dan para mitranya telah memelopori upaya-upaya pencegahan kelaparan multisektoral di tingkat negara.

“Meningkatkan bantuan pangan atau bantuan tunai untuk menyelamatkan nyawa bagi penduduk yang menghadapi kekurangan pangan akut dan parah sangatlah penting, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kesenjangan yang ditimbulkan oleh kurangnya produksi pangan lokal,” sebutnya.

Rencana darurat FAO untuk Sudan pada 2024 dianggarkan sebesar 104 juta dolar AS, ujar Yang, seraya menambahkan bahwa rencana tersebut saat ini baru didanai kurang dari 10 persen.

Dia mengatakan bahwa produksi garai, milet, dan gandum pada 2023 diperkirakan sekitar 4,1 juta ton, turun 46 persen dari tahun sebelumnya.

FAO memprioritaskan pendekatan tanggap darurat terpadu untuk memungkinkan produksi pangan lokal dari sereal pokok utama, penyediaan pasokan ternak dan perikanan, serta layanan kesehatan hewan dan vaksinasi, yang bertujuan untuk membuka jalan bagi pemulihan, tuturnya.

*1 dolar AS = 16.176 rupiah

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan