Penindasan terhadap Muslim Uighur masih terjadi dengan melenyapkan identitas masyarakat minoritas ini, bahkan mereka yang mengucapkan assalamu’alaikum bisa kenai sanksi.
Jakarta (Indonesia Window) – Masyarakat Indonesia perlu memelopori untuk menerima pelajar dan mahasiswa Uighur bersekolah di beberapa perguruan tinggi di Indonesia dengan beasiswa dicarikan oleh pihak Indonesia, kata Dr. KH. Shobahussurur Syamsi, Ketua Komisi Luar Negeri dan Hubungan Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (2015-2020).
Shobahussurur Syamsi memberikan pandangan tertulisnya yang disampaikan kepada panitia diskusi publik bertema ‘Memantik Solidaritas Umat Islam Menyikapi Pengekangan Hak Muslim Uighur‘ yang diselenggarakan Perhimpunan Remaja Mesjid (Prima) Dewan Masjid Indonesia (DMI) bersama Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) di Jakarta, Rabu.
Diskusi itu dibuka oleh Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI) Dr. KH. Imam Addaruqutni.
Lebih jauh Shobahussurur Syamsi yang mendadak berhalangan hadir sebagai salah satu pembicara dalam diskusi itu mengatakan ekspatriat Uighur di pengasingan di berbagai negara sebaiknya menyatukan tekad untuk membebaskan bangsanya dari kekuasaan China.
“Menetapkan pimpinan tertinggi yang mengorganisasi perjuangan dengan keterampilan dalam berdialog dengan berbagai bangsa, membuat visi dan misi tentang bangsa Uighur baru yg mandiri dan berdaulat,” katanya. “Untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak, mereka perlu melakukan dialog terus-menerus dengan pihak China.”
Selain itu mereka membuat tahapan-tahapan perjuangan dari yang paling utama dengan mengangkat masalah pendidikan yang dianaktirikan dibandingkan dengan kawasan timur sampai masalah ketimpangan sosial dan kebebasan berekspresi dan beragama.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah itu menyarankan menghindari cara-cara kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok kecil Uighur supaya tidak timbul reaksi negatif tentang radikalisme dan terorisme.
“Memberikan bantuan pendampingan bagi bangsa Uighur di pengasingan dalam hal komunikasi, dialog, dan pertemuan-pertemuan dengan berbagai pihak, ujarnya.
Dia menyarakan peran PJMI dikembangkan untuk menjembatani proses perdamaian antara China dan bangsa Uighur mendapatkan solusi yang memadai.
“Kegiatan-kegiatan diskusi seminar dan dialog serta lobi-lobi dengan berbagai pihak agar diperbanyak dan lebih fokus ke arah terwujudnya perdamaian di kawasan Xinjiang,” tambahnya.
Cara-cara kekerasan dengan menangkapi bangsa Uighur lalu memasukkan ke dalam kamp dengan dalih pelatihan dan pemberdayaan harus dihentikan. Dengan membubarkan sistem kamp tersebut, lalu memberikan kesempatan pendidikan yang sama dengan rumpun bangsa lain di China.
Ketua Umum PJMI Ismail Lutan mengatakan diskusi ini berlatarbelakang dari sejumlah pemberitaan media nasional dan internasional atas penderitaan Muslim Uighur di China yang mendapat tekanan atas pelaksanaan hak-hak mereka sebagai seorang Muslim.
Pemberitaan bangsa Uighur
Pemberitaan di media massa dan media sosial mengungkap masih ada pembatasan hak-hak beribadah, seperti pelarangan berpuasa dan mendalami Al-Qur’an bagi Muslim Uighur sampai mengarah pada genosida, katanya.
Menurut Ismail, informasi itu perlu dikaji lagi sehingga dibuatlah diskusi ini dengan mengundang Direktur HAM Uighur dan orang Indonesia yang pernah diundang Pemerintah China mengunjungi Provinsi Xinjiang, wilayah yang mayoritas dihuni bangsa Uighur serta sejumlah pakar kebijakan luar negeri.
Direktur HAM Uighur Omar Kanat yang hadir via zoom mengungkapkan berita tentang penindasan Muslim Uighur di sejumlah kamp adalah sebuah kebenaran, namun ditutupi oleh Pemerintah China sebagai bentuk kegiatan deradikalisasi dan upaya memberantas terorisme.
“Ada upaya melenyapkan identitas minoritas Uighur. Mengucapkan assalamualaikum saja dikenai hukuman, demikian juga kalau di rumah mereka ditemukan Al-Qur’an,” katanya yang mengikuti diskusi dari Washington D.C., Amerika Serikat.
Ia mengungkap ada 1.047 imam masjid yang ditangkap dengan alasan radikal dan sampai sekarang sebagian tidak diketahui keberadaanya lagi. “Komunitas Muslim di berbagai belahan dunia menyebut Islamofobia dan mereka harus terus bergerak menyuarakan penghentian penindasan Muslim Uighur, jangan sampai terdiamkan begitu saja,” katanya.
Sebaliknya Nanang Qasim, Humas PP Prima DMI dan bersama rombongannya yang pernah diundang Pemerintah China mengunjungi Xianjiang tahun 2019 mengungkap, saat meninjau kamp yang dituduhkan sebagai tempat penindasan sebenarnya merupakan tempat pendidikan vokasi untuk menyiapkan tenaga kerja terlatih.
“Mereka yang di kamp diberikan pemahaman bagaimana membangun ekonomi dan diberi pelatihan menjahit dan membuat beragam alat produksi,” katanya. “Pada awal kunjungan ke Xianjian kami diarahkan mengunjungi museum deradikalisasi yang menunjukkan sejumlah bukti adanya terorisme dan separatisme di sana.”
Namun ia mengatakan,kalaupun informasi tentang genosida dan penindasan terhadap Muslim Uighur itu benar, maka sikapnya tetap tegas untuk menentang itu semua.
Ahmad Arafat, aktivis sosial yang menjadi moderator diskusi menyatakan bersyukur karena masih ada kebebasan beragama di negara Indonesia, walaupun di belahan dunia lain masih banyak diskriminasi terhadap umat Islam seperti di Palestina, Kashmir, dan Rohingya.
“Kita mengusung moto Satu Umat; jadi bagaimana membangkitkan peradaban Islam dengan syarat adanya persatuan umat Islam dan solidaritas Muslim di negara manapun,” katanya.
Laporan: Mohammad Anthoni