Banner

Teknologi ‘Carbon Capture Storage’ kunci keberlanjutan industri migas di era transisi energi

Papan informasi tentang aktivitas penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) di stan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, di Indonesia Petroleum Association (IPA) Convention and Exhibition 2025 (IPA Convex), di ICE BSD Tangerang, Banten, Selasa (20/5/2025). (Indonesia Window)

Penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) menjadi syarat utama dalam menjaga keberlanjutan industri minyak dan gas bumi (migas), karena kebutuhan akan energi fosil makin meningkat.

 

Tangerang, Banten (Indonesia Window) – Penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) menjadi syarat utama dalam menjaga keberlanjutan industri minyak dan gas bumi (migas), karena kebutuhan akan energi fosil makin meningkat.

Dalam sesi Global Executive Talk pada ajang IPA Convention & Exhibition (IPA Convex) 2025 di ICE BSD City, Tangerang, Selasa (20/5), Executive Vice President & CEO Upstream PETRONAS, Mohd Jukris Abdul Wahab, menuturkan fokus perusahaannya saat ini adalah mengembangkan portofolio bisnis hulu migas.

Bahkan, lanjutnya, CCS memiliki peluang bisnis cukup besar di masa depan karena tidak hanya sebagai pendukung bisnis hulu migas melainkan bisa juga dijadikan bidang usaha tersendiri.

“Kami memiliki strategi transisi energi yang jelas di Petronas. Prioritas kami adalah pada dekarbonisasi. CCS menjadi solusi yang efisien dan merupakan bagian dari agenda transisi energi kami. Khusus untuk CCS, kami memutuskan untuk menjadikannya sebagai bisnis tersendiri,” ungkap Jukris.

Banner

PETRONAS sendiri sudah memiliki proyek hub CCS dengan menggandeng beberapa mitra dari Jepang, Korea Selatan dan Singapura untuk menjadikan Malaysia sebagai tempat penyimpanan CO2.

Namun demikian, Jukris mengakui bahwa tantangan utama dalam penerapan CCS adalah biaya yang masih tinggi.

“Biaya menjadi tantangan utama—karena mencakup proses penangkapan CO2, transportasi, pemrosesan, dan penyimpanan di lepas pantai. Jadi, yang sedang kami fokuskan sekarang adalah membangun kerangka komersial yang kuat di tiap tahapan agar secara ekonomi tetap layak,” urainya.

Sementara itu, President Director PT Medco Energy International Tbk (MEDC), Hilmi Panigoro, mengakui bahwa kehadiran CCS sangat penting di era transisi energi apalagi di sektor migas.

Dia memastikan dengan teknologi yang terus berkembang bisa menekan biaya sehingga Medco tidak akan ragu untuk mengimplementasikan CCS.

“Tentu ini soal pertimbangan biaya dan manfaat. Kami akan pasang sistem untuk mengurangi CO₂ selama biaya masih masuk akal dan proyeknya tetap layak secara ekonomi,” ujar Hilmi.

Banner

Dalam kesempatan yang sama, Managing Director and CEO Mubadala Energy, Mansoor Mohamed Al Hamed, menjelaskan dengan adanya transisi energi maka ini sesuai dengan strategi perusahaan yang lebih membidik pada pengembangan gas.

Menurut dia strategi perusahaan sejalan dengan road map ketahanan energi Indonesia, sehingga sangat tepat jika Mubadala Energy menjadikan Indonesia sebagai salah satu portfolio investasi.

Mubadala Energy saat ini tengah menjadi sorotan dalam industri migas di Tanah Air setelah menemukan cadangan gas yang signifikan di sumur eksplorasi Layaran-1 dan Tangkulo-1 di Wilayah Kerja South Andaman dengan potensi multi-TCF. Mubadala Energy juga telah mengumumkan penemuan gas di Andaman II, dimana Harbour Energy menjadi operatornya.

“Kami fokus pada rantai nilai gas, karena ini adalah elemen penting bagi ketahanan energi, terutama di kawasan ini (Indonesia). Kami telah menemukan sumber daya besar yang penting bagi ketahanan energi nasional dan sejalan dengan agenda transisi energi kami,” jelas Mansoor.

Laporan: Redaksi

Banner

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan