Jakarta (Indonesia Window) – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mewacanakan pengaturan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price) guna mengantisipasi disparitas harga komoditas batu bara di pasar Tanah Air.
“Kami mencoba melihat peluang-peluang pengaturan yang lebih baik dan memberikan keadilan bagi para pelaku usaha (pertambangan),” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin (15/11).
Penetapan harga batas atas sudah diimplementasikan untuk kelistrikan umum, industri semen, dan pupuk.
Penerapan kebijakan ini akan mengurangi potensi produsen batu bara tidak berkontrak dengan konsumen batu bara dalam negeri saat harga komoditas batu bara global naik.
“Saat harga naik, (produsen) lebih memilih denda bila harga batu bara domestik jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar internasional,” tutur Ridwan.
“Harga batas bawah bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah,” imbuhnya.
Selain itu, kementerian juga akan mengatur skema kontrak penjualan dalam negeri melalui kontrak harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B).
“Skema ini akan memberikan kepastian bagi produsen dan konsumen batu bara dalam negeri terkait jaminan harga dan volume pasokan,” ujar Ridwan.
Pemerintah telah mengatur kewajiban pemenuhan batu bara dalam negeri bagi semua badan usaha pertambangan yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu bara Dalam Negeri.
Regulasi tersebut menetapkan, jika perusahaan pertambangan tidak memenuhi DMO 25 persen dari rencana produksi atau kontrak penjualan dalam negeri, maka akan dikenakan larangan ekspor batu bara, denda, dan dana kompensasi.
Laporan: Redaksi