Banner

Pembangunan ibu kota baru butuh mitigasi konflik sosial

Salah satu ruas jalan utama di ibu kota Jakarta. (Photo by ekoherwantoro on Unsplash)

Jakarta (Indonesia Window) – Pemindahan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur sejatinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dua daerah tersebut dan sekitarnya.

Namun demikian, bukan tidak mungkin terobosan tersebut juga menyimpan potensi masalah yang sewaktu-waktu dapat meledak, mengingat disparitas sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) serta keluarga mereka yang terbiasa hidup di metropolitan Jakarta ketika nanti pindah ke daerah yang baru giat-giatnya membangun.

Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Herry Yogaswara, berpendapat suatu daerah yang pernah terjadi konflik sosial tidak lantas menjadi rawan konflik sosial.

“Daerah yang pernah terjadi konflik dapat menjadi daerah yang justru resilient (tahan) terhadap konflik. Ini karena daerah tersebut sudah memiliki pengalaman mitigasi bencana sosial,” ujar Herry yang dikutip dari situs jejaring Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, potensi konflik sosial di ibu kota negara dalam konteks budaya-demografis dapat terjadi dari kelompok pendatang dan masyarakat lokal.

Banner

“Beberapa potensi konflik sosial yang dapat terjadi di antaranya adalah keragaman etnis, namun komposisinya tidak imbang, klaim-klaim kesultanan dengan konsep Sultan Grand, klaim-klaim untuk mendapatkan posisi penting dari ormas berbagai etnis, dan penguasaan lahan,” tutur Herry.

Dia menyarankan agar mitigasi konflik dapat dilakukan dengan segerad engan menetapkan titik-titik lokasi yang akan menjadi daerah pembangunan infrastruktur ibu kota negara dan status hukum lahan yang akan digunakan.

“Juga penting untuk membatasi ruang kelompok yang mengatasnamakan agama dan etnis dari klaim-klaim atas penguasaan ruang hidup. Perlu juga memberikan ruang yang lebih besar untuk sektor sosial dan budaya dan selalu melibatkan kelompok intelektual lokal,” ujar Herry.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan