Jakarta (Indonesia Window) – Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) dalam waktu dekat akan melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung terkait Program Organisasi Penggerak (POP) yang baru-baru ini diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Program ini bertujuan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru agar mereka mampu meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik, dengan melibatkan organisasi masyarakat dan individu yang mempunyai kapasitas meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan.
Dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin, Ketua Umum PB PII Tasrik Makruf Nasution mempertanyakan pelaksana POP yang menurut dia tidak dikenal dan tidak memiliki sepak terjang di bidang pendidikan.
Dalam menjalankan POP, kementerian menggandeng Tanoto Foundation dan Yayasan Poetra Sampoerna.
“Bagaimana seleksinya, apalagi di tengah pandemik COVID-19. Adakah lembaga (ormas atau organisasi profesi) sebaik NU, Muhammadiyah, dan PGRI (Persatuan Guru RI) yang lebih kompeten dalam hal pendidikan?,” ujar Husin, seraya menegaskan bahwa POP harus dibatalkan karena bukan solusi untuk memecahkan masalah pendidikan saat ini.
Saat presiden berulang kali meminta agar kebijakan yang dilakukan harus extraordinary (luar biasa), Husin menilai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat ini masih menjalankan program biasa.
Menurut PII, Persekjen No. 3 Tahun 2020 yang menjadi dasar POP bertentangan dengan Permendikbud No. 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) pasal 11.
“Dalam keadaan bencana, tidak ada kewajiban Kemendikbud meningkatkan kapasitas guru, melainkan harus memberikan bantuan pemulihan warga Satuan Pendidikan yang terkena bencana agar dapat kembali ke kehidupan normal,” jelas Husin.
PII menilai masih banyak siswa yang mengalami kendala pada semester awal tahun ajaran baru 2020/2021, seperti tidak memiliki gawai pintar (smartphone) pribadi dan tidak ada akses internet, bahkan belum memiliki jaringan listrik di tempat tinggal mereka.
Husin menerangkan ada lebih dari 46 ribu sekolah yang tidak dapat menjalankan Pendidikan Jarak Jauh dalam jaringan (daring) yang diterapkan oleh pemerintah selama pandemik.
Akibatnya, pembelajaran dilakukan dengan metode guru berkunjung ke rumah siswa yang menurut dia tidak efektif, sebab jumlah guru jauh dari cukup jika harus melayani semua murid satu per satu.
“Ini masalah nyata dan diakui oleh Kemendikbud. Tapi tidak ada kebijakan extraordinary untuk mengatasi masalah ini,” kata Husin.
Sementara itu, Komandan Brigade PII Sureza Sulaiman selaku penanggungjawab satgas COVID-19 PII, mengatakan permasalahan utama yang sedang dihadapi oleh Indonesia adalah ketimpangan ekonomi dan pendidikan di tengah masyarakat.
Dia mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan Perpres tentang alokasi khusus anggaran darurat pendidikan selama pandemik COVID-19.
Menurut dia, kondisi darurat di sektor pendidikan belum mendapat perhatian masyarakat luas dibandingkan isu ekonomi akibat pandemik.
Masih banyak pemangku kepentingan di bidang pendidikan yang belum sepenuhnya menyadari bahwa penutupan kegiatan sekolah berimbas pada terhambatnya pemenuhan hak memperoleh pendidikan yang layak bagi murid yang kurang beruntung, kata Sureza.
Laporan: Redaksi