Banner

Pasien Indonesia berhasil transplantasi sel punca di Taiwan

Ilustrasi. Seorang pekerja migran Indonesia yang menerima transplantasi sel punca di Taiwan pada bulan Juni 2020, menyatakan apresiasinya karena Taiwan telah mempercepat perawatan kesehatan dengan mencabut pembatasan perjalanan untuk keluarganya di tengah pandemik COVID-19 sehingga memfasilitasi operasi yang menyelamatkan hidupnya. (Sasin Tipchai from Pixabay)

Jakarta (Indonesia Window) – Seorang pekerja migran Indonesia yang menerima transplantasi sel punca di Taiwan pada bulan Juni 2020, menyatakan apresiasinya karena Taiwan telah mempercepat perawatan kesehatan dengan mencabut pembatasan perjalanan untuk keluarganya di tengah pandemik COVID-19 sehingga memfasilitasi operasi yang menyelamatkan hidupnya.

Pada konferensi pers Kamis (5/11) untuk merayakan keluar dari rumah sakit, Nina Herlina (23) berterima kasih kepada Taiwan karena telah memberinya kesempatan hidup baru dan mengatakan bahwa perawatannya adalah bukti kemampuan perawatan kesehatan Taiwan, menurut Kantor Berita Taiwan (CNA).

Pada November tahun lalu, Nina mulai menderita serangan menoragia (menstruasi yang memanjang dan mengeluarkan darah lebih banyak dari biasanya) yang berlangsung sekitar 20 hari, bersamaan dengan gejala seperti pusing, kelelahan, dan demam.

Pada bulan Februari, dia datang ke Asosiasi Pekerja Internasional Taiwan (TIWA), sebuah LSM lokal yang mempromosikan hak-hak pekerja migran ketika dia dipecat, tidak lama setelah seorang dokter mendiagnosisnya menderita anemia aplastik, yakni penyakit autoimun di mana sumsum tulang berhenti membuat sel darah baru.

Dengan bantuan TIWA, Nina diizinkan untuk tetap tinggal di Taiwan, tempat dia bekerja sebagai perawat bagi manula sejak Oktober 2018.

Pada bulan Maret, dia dipastikan menderita anemia aplastik (kerusakan pada sel punca di sumsum tulang yang menurunkan produksi sel darah dan keping darah), yang membutuhkan transplantasi sel induk alogenik (berasal dari donor) untuk mengobati penyakitnya, menurut TIWA.

Sel punca adalah sel yang bisa membentuk sel khusus lainnya, seperti sel otot, sel darah merah, dan sel otak.

Namun, saat itu pandemik COVID-19 semakin parah.

Sementara itu, institusi medis di kampung tempat keluarga Nina tinggal tidak memiliki teknologi dan teknik guna mengidentifikasi donor tepat waktu untuk transplantasi sumsum tulang.

Saat itu Nina hidup di Taiwan melalui transfusi darah selama berpekan-pekan.

Transfusi darah yang sering dapat berdampak buruk pada keberhasilan transplantasi.

Selain itu, Nina juga mengidap leukopenia, yaitu kondisi dimana jumlah sel darah putih berkurang sehingga meningkatkan risiko infeksi.

Akibatnya, dokter di Rumah Sakit Umum Veteran Taipei (TVGH) menetapkan bahwa pasien mereka sangat membutuhkan transplantasi, menurut TIWA.

Dengan bantuan TIWA, tim medis TVGH menjelaskan kondisi tersebut kepada Nina dan anggota keluarganya di Indonesia melalui video call.

Dokter mengatakan bahwa sel sehat untuk transplantasi idealnya berasal dari anggota keluarga, menjadikan dua adik perempuannya, berusia 5 dan 14 tahun sebagai kandidat terbaik untuk operasi, kata TIWA.

Berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, Pusat Komando Epidemi Pusat memutuskan pada bulan Juni untuk mencabut larangan perjalanan bagi ibu dan saudara perempuannya agar bisa berangkat keTaiwan.

Setelah menjalani tes darah khusus yang diatur oleh TVGH, adik perempuan Nina yang berusia 5 tahun diidentifikasi sebagai donor yang cocok untuk transplantasi.

Operasi tersebut dilakukan setelah ketiga anggota keluarga tersebut menyelesaikan karantina selama 21 hari di Taiwan dan menunjukkan dua hasil uji COVID-19 negatif berturut-turut.

Setelah menerima perawatan medis di Taiwan selama sembilan bulan, Nina keluar dari rumah sakit pada Kamis (5/11) setelah dokter memastikan bahwa dia telah pulih dari penyakit mematikan itu.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan