Otonomi strategis Uni Eropa merupakan isu yang kerap kali muncul ke permukaan di masa lalu, sejak berakhirnya Perang Dingin pada awal 1990-an, dan kini kembali hangat oleh pecahnya konflik di Ukraina di mana Amerika Serikat-lah yang menjadi pemimpin dalam menentukan kebijakan yang mendukung Ukraina, dengan mayoritas negara Eropa mengikuti langkah AS.
Roma, Italia (Xinhua) – Konflik di Ukraina kembali memunculkan isu otonomi strategis Uni Eropa (UE) ke permukaan, sebuah isu yang telah ada sejak puluhan tahun lalu, menurut sejumlah analis.
Dalam banyak hal, Amerika Serikat (AS) menjadi pemimpin dalam menentukan kebijakan yang mendukung perjuangan Ukraina, dengan mayoritas negara Eropa mengikuti langkah negara tersebut.
Ukraina juga mendapatkan manfaat dari dukungan kuat UE. Namun, sejumlah analis mengatakan bahwa AS jelas mengambil peran utama.
“Kewenangan yang dimiliki UE terkait kebijakan luar negeri dan kebijakan keamanan sangat terbatas dibandingkan dengan kewenangan yang dimilikinya di bidang-bidang kebijakan lain,” ujar Mattia Guidi, seorang ilmuwan politik di LUISS University di Roma, kepada Xinhua.
Guidi menyampaikan bahwa ada beberapa alasan terkait hal itu, termasuk kuatnya pengaruh AS dan cara pengambilan keputusan mengenai isu-isu geopolitik di Eropa.
“UE membuat keputusan berdasarkan aturan pengambilan suara secara bulat, yang berarti seluruh 27 negara anggota harus dihadirkan di meja perundingan dan menemukan solusi yang cocok bagi semua pihak,” tutur Guidi. “Itu sangat sulit. Yang biasanya terjadi adalah UE tidak dapat memutuskan sesuatu yang substansial terkait kebijakan luar negeri dan keamanan.”
Hal itu terlihat jelas pada bulan ini, saat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bertemu dengan jajaran pemimpin Eropa dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Eropa di Brussel pada 9 Februari.
Konsensus tercapai terkait janji untuk memberikan dukungan berkelanjutan bagi Ukraina, namun terdapat perbedaan besar perihal apa yang dimaksud dengan dukungan tersebut. Beberapa negara ingin mendukung Ukraina melalui kemungkinan perundingan damai, beberapa lainnya ingin membatasi dukungan pada mekanisme keuangan, dan beberapa sisanya ingin melanjutkan dukungan militer.
Kritik juga dilayangkan oleh Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni yang menyebut bahwa pembicaraan trilateral antara Zelensky, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz di Paris sehari jelang berlangsungnya KTT itu “tidak pantas” mengingat prinsip pengambilan suara secara bulat, imbuh Guidi.
Sejumlah analis mengatakan isu-isu itu meningkatkan pengaruh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO), yang kini menjadi kerangka pendukung utama bagi Ukraina dan telah memberikan dukungan bagi Kiev selama bertahun-tahun sebelum konflik pecah.
Menghadapi konflik berskala besar di depan mata, kapasitas UE dalam merespons hal itu terbatas. Pada waktu yang sama, NATO telah memperluas kehadiran militernya di sayap timur. Pertemuan rutin para menteri pertahanan aliansi itu dan pertemuan Kelompok Kontak Pertahanan Ukraina yang lebih besar di pangkalan udara AS di Ramstein, bukannya dalam pertemuan menteri luar negeri dan pertahanan Dewan UE, kini membuat keputusan terkait konflik tersebut.
“NATO sudah ada di sana. NATO merupakan organisasi yang lebih fungsional dalam mengelola isu-isu tersebut dan dalam pakta pertahanan inilah, tentu saja, AS memainkan peran utama,” kata Guidi. “Pergeseran ini juga mudah terjadi karena terdapat tumpang tindih yang begitu besar antara NATO dan UE.”
NATO memiliki 30 negara anggota, termasuk 21 negara anggota UE. Swedia dan Finlandia, dua negara anggota UE lainnya, masih dalam proses untuk bergabung dengan NATO, sementara beberapa negara anggota NATO non-UE sedang mengupayakan keanggotaan mereka di UE.
Dikatakan Ingo Peters, seorang pakar kebijakan luar negeri di Free University of Berlin, isu otonomi strategis UE merupakan hal yang kerap kali muncul ke permukaan di masa lalu, sejak berakhirnya Perang Dingin pada awal 1990-an.
“Otonomi strategis Uni Eropa telah didukung oleh beberapa negara, namun tidak oleh semuanya,” kata Peters, yang saat ini menjadi cendekiawan tamu (visiting scholar) di Pusat Kajian Eropa di University of North Carolina di Chapel Hill, AS, kepada Xinhua.
“Contohnya, Jerman selalu menyampaikan bahwa UE sebaiknya tidak bergerak maju tanpa AS, yang menurut negara itu merupakan hal yang esensial untuk memperkuat Uni Eropa,” ujar Peters.
Jerman dilaporkan setuju mengirimkan tank-tank Leopard 2 yang canggih ke Ukraina pada akhir Januari hanya setelah AS memutuskan untuk mengirimkan tank-tank M1 Abrams.
“Ada sejumlah alasan historis terkait hal ini, karena kami warga Jerman meyakini bahwa pengaruh AS di Eropa dibutuhkan sebagai semacam keseimbangan eksternal untuk menjaga sahabat dan tetangga kami tetap tenang,” imbuh Peters.
Jerman merupakan perekonomian terbesar di UE, namun Peters menyatakan bahwa negara itu tidak selalu menjadi aktor utama dalam isu-isu yang berkaitan dengan hubungan dan keamanan internasional sebagian karena warisannya dari dua Perang Dunia pada abad ke-20. Kendati demikian, hal itu mulai berubah secara perlahan sejak konflik Ukraina pecah, tutur Peters.
“Dalam beberapa bulan terakhir, otonomi strategis Eropa dihadapkan pada realitas yang ada,” kata Ulrike Franke, seorang senior policy fellow di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri.
“Eropa harus lebih kuat dan lebih bersatu, tidak selalu bergantung pada AS yang semakin kurang memfokuskan upaya, perhatian, dan uangnya untuk Eropa,” kata Franke.
Laporan: Redaksi