Opini – IKN Nusantara menghadapi transisi energi

Syamsidar Sutan, Dosen Geologi FST Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur. (Dok. Pribadi)

Kebutuhan energi untuk kota-kota besar di Indonesia semakin meningkat. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), angka konsumsi listrik per kapita di Indonesia mencapai 1.109 kilowatt jam (kWh) hingga September 2021, yang sebagian besar berasal dari batu bara.

Meskipun Indonesia kaya akan batu bara, ketimpangan pasokan energi masih terjadi di Tanah Air, bahkan di Pulau Kalimantan yang merupakan penghasil terbesar energi fosil ini.

Padahal, Kalimantan Timur telah ditetapkan sebagai ibu kota negara atau IKN, yang berada di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.

Dengan ketetapan itu Kalimantan diharapkan melahirkan pusat ekonomi baru, sehingga memerlukan strategi dalam memenuhi dan mengonsumsi energi.

Bagi Kalimantan, hal tersebut rasanya tak sulit dilakukan mengingat sumber daya energi yang cukup besar berupa minyak bumi, gas bumi, batu bara serta batu bara non konvensional yaitu, coal bed methane dan underground coal gasification tersedia melimpah di pulau terluas kedua di Indonesia ini.

Selain bahan bakar fosil, sumber-sumber energi terbarukan seperti minyak kelapa sawit serta sungai-sungai besar beraliran deras yang bisa dikembangkan untuk pembangkit listrik juga mudah ditemukan di Kalimantan.

IKN

Kebutuhan energi dalam kapasitas besar meningkat ketika proyek pembangunan IKN dimulai, dan akan menanjak seiring dengan tumbuhnya kegiatan masyarakat, mulai dari lingkup rumah tangga, perkantoran, industri hiburan hingga industri skala besar.

Prinsip dasar penyediaan dan konsumsi energi di suatu wilayah ibu kota mencakup sistem jaringan dan distribusi transmisi energi dari sumber-sumber energi. Misalnya, sistem kelistrikan wilayah terdekat gas alam cair (LNG) Kota Bontang ter-interkoneksi dengan seluruh daerah di Kalimantan.

Di IKN, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dapat memanfaatkan sungai-sungai besar di Kalimantan dan mengkonversi energi batu bara menjadi synthetic gas (syngas) atau gas sintetik yang sangat efektif dalam menyediakan listrik bersih.

Gas sintesis adalah campuran bahan bakar gas yang terutama terdiri dari hidrogen, karbon monoksida, dan beberapa karbon dioksida.

Syngas dapat diperoleh dengan mengeksplotasi batu bara yang berada di kedalaman lebih dari 200 meter menggunakan underground coal gasification (UCG) atau teknologi gasifikasi bawah permukaan.

Dengan metode non-konvensional ini, batu bara dapat dikonversi menjadi energi secara insitu atau di tempat itu juga.

Namun, tidak semua endapan batu bara sesuai untuk proses UCG. Lokasi dan sumber daya UCG harus dihitung berdasarkan hasil kajian geologi, hidrologi, hidrogeologi, geoteknik dan nilai ekonomi.

Dalam menghadapi transisi energi di IKN, pemerintah harus mengkaji nilai keekonomian pembangunan pembagkit listrik untuk keperluan internal, dengan memperhatikan kenaikan harga gas alam di dalam negeri yang diperkirakan terus naik kerena menurunnya produksi gas alam dari sumur-sumur gas yang ada.

Sementara itu, harga impor LNG relatif mahal karena ada tambahan biaya untuk proses pencairan, transportasi dan regasifikasi.

Pembangunan IKN juga harus memperhatikan nilai perkiraan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi, dan keduanya adalah tujuan yang harus dapat dicapai secara bersamaan.

Pembangunan ekonomi dapat disebut berhasil apabila suatu wilayah atau daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan taraf hidup masyarakat secara merata melalui energi.

Apakah Kalimantan sudah siap menuju IKN, sementara rona ketimpangan antarwilayah masih mewarnai dinamika pembangunan manusia di Kalimantan?

Isu strategis yang menjadi fokus RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 adalah ketimpangan antarprovinsi dalam wilayah pulau.

Pulau Kalimantan memiliki ketimpangan yang cukup tinggi, walaupun ketimpangan belum tentu merefleksikan perkembangan penerapan kebijakan distribusi pembangunan. Adanya kesenjangan bisa berarti belum meratanya pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.

Siapkah Kalimantan menghadapi transisi energi? Tentu siap, dengan catatan rencana strategis dengan mengedepankan kepentingan negara dan masyarakat telah disusun secara matang sehingga mampu berdaulat dari segi ketahanan energi.

Penulis: Syamsidar Sutan, M.T Teknik (Dosen Geologi FST Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur)

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan