Perjalanan ibadah haji dan umroh ke Tanah Suci bagi Umat Islam di mana pun berada tetap merupakan sebuah impian, walaupun seseorang sudah pernah melakukannnya beberapa kali.
Patut disyukuri, setelah sekian lama ‘terhenti’, kegiatan ibadah umroh sudah dimulai lagi. Khususnya untuk warga Indonesia, kegiatan umroh sudah dimulai kembali sejak beberapa bulan yang lalu, walaupun masih dalam jumlah terbatas, setidaknya dibandingkan dengan masa sebelum adanya pandemi COVID-19.
Tentu saja ada sejumlah perbedaan antara umroh sebelum dan sesudah adanya pandemi. Selain jumlah jamaah Indonesia masih terbatas, sehingga tidak tidak lagi memberi kesan ‘mendominasi’, ada keharusan bebas dari COVID-19 berdasarkan tes PCR.
Selain itu ada keharusan karantina, bahkan kewajiban untuk menggunakan Tawakkalna, sebuah aplikasi yang mirip dengan PeduliLindungi di Indonesia. Catatan ini dibuat berdasarkan pengalaman penulis yang baru saja berkunjung ke Haramain pekan lalu.
‘Standar baru’
Seperti disampaikan di atas, di antara perbedaan umroh sebelum dan sesudah pandemi adalah bahwa begitu seseorang sampai di Madinah atau Jeddah, maka yang bersangkutan harus memasang aplikasi Tawakkalna. Di paspor jamaah juga akan muncul sebuah angka atau nomor yang juga muncul di Tawakkalna.
Dari bandara, jamaah akan diantar ke hotel yang sudah direservasi. Mestinya, dalam waktu secepatnya harus dilakukan tes PCR, walau dalam pengalaman penulis, petugas PCR baru datang setelah ada jeda waktu sekitar 20 jam.
Hasil tes PCR akan muncul keesokan harinya. Ada satu hal yang menarik, berdasarkan pengalaman penulis, yaitu bahwa kebangsaan di aplikasi tiba-tiba berubah, dari semestinya Indonesia menjadi India. Lucu kan?!
Selama karantina, tentu para jamaah hanya bisa menunggu di kamar hotel. Seorang teman yang mencoba pergi keluar (ke halaman) hotel, dan bukan ke Masjid, ‘tertangkap’ dalam pemeriksaan yang dilakukan secara acak. Beruntung dia hanya disuruh kembali ke hotel, walau sempat difoto petugas.
Kemudian, masa karantina di hotel yang hanya berjarak kurang dari 100 meter dari halaman Masjid Nabawi adalah benar-benar merupakan sebuah ujian kesabaran tersendiri.
Betapa tidak, dari kamar hotel terlihat jelas rombongan jamaah (yang sudah lolos karantina) menuju masjid, sementara kita hanya bisa menonton dari jendela kamar hotel dan shalat sendirian di kamar hotel. Rasanya, para jamaah kehilangan momen yang sangat berharga.
Satu hal yang menarik adalah bahwa perlakuan karantina ini tidak sama di antara para jamaah. Jamaah Malaysia misalnya, justru bebas dari karantina. Aneh kan? Ini mestinya yang menjadi tugas negara (Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri?), demi warga Indonesia.
Konon ini akibat Indonesia memperlakukan hal yang sama untuk warga Arab Saudi, bahkan termasuk untuk pejabat penting mereka. Maka ‘wajar’ kalau Arab Saudi melakukan hal yang sama kepada warga Indonesia.
Mengenai Tawakkalna, sejak tiba di bandara dan mengisi data, aplikasi tersebut berwarna ungu. Semestinya, setelah dua kali tes PCR, warna ungu akan berubah menjadi hijau.
Di hari keempat karantina, sekali lagi diadakan tes PCR. Dalam kasus rombongan kami, khusus untuk percepatan hasil, kami melakukan dua kali tes PCR. Tes pertama tetap dengan lab resmi yang dilakukan sehari setelah kedatangan, dan yang kedua melalui lab swasta yang juga diakui alias legal.
Kedua hasil tes tersebut negatif dan muncul dalam aplikasi Tawakkalna. Tetapi anehnya, warna ungu tidak juga berubah. Kalau mengikuti aturan, tentu kami tidak akan bisa pergi ke masjid, baik ke Masjid Nabawi di Madinah maupun Masjidil Haram di Makkah.
PR pemerintah
Kalau Pemerintah memang memperhatikan kebutuhan masyarakat Muslim khususnya, mestinya ‘masalah’ yang dijelaskan di atas menjadi ‘pekerjaan rumah’ (PR) yang penting dan sekaligus mendesak untuk segera diatasi.
Kedua isu di atas bukan hal yang terlalu rumit untuk diselesaikan. Masalah karantina adalah masalah bilateral yang sesungguhnya relatif mudah untuk diatasi.
Tentu ini menyangkut high level relationship (hubungan tingkat tinggi). Apalagi masalah Tawakkalna. Ini masalah teknis yang kadarnya tentu jauh lebih rendah daripada masalah karantina.
Sekali lagi, kalau negara dan jamaah lain bisa, mossok kita nggak bisa?!!!
Penulis: Muhammad Akhyar Adnan [Dosen Program Studi Akuntansi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FEB UMY)]