Banner

Ilmuwan Kenya temukan obat untuk kurangi risiko malaria di kalangan ibu hamil positif HIV

Foto dokumentasi ini menunjukkan seorang bayi menerima pengobatan pencegahan malaria pada bayi (preventive treatment of malaria in infants/IPTi) yang diberikan secara periodik di permukiman Soa di Yaounde, Kamerun, pada 25 April 2022. (Xinhua/Kepseu)

Obat antimalaria dihydroartemisinin-piperaquine pada obat malaria yang sudah ada dapat secara signifikan mengurangi risiko infeksi malaria pada ibu hamil yang positif HIV.

 

Nairobi, Kenya (Xinhua) – Sebuah obat baru yang diharapkan dapat menurunkan penularan malaria di kalangan wanita hamil pengidap HIV diluncurkan pada Selasa (16/1) oleh para ilmuwan Kenya dan Malawi setelah melalui tahap uji coba yang ketat.

Melalui temuan penelitian yang dipublikasikan di Lancet, sebuah jurnal medis prestisius, para ilmuwan tersebut mengatakan bahwa penambahan obat antimalaria dihydroartemisinin-piperaquine pada obat malaria yang sudah ada dapat secara signifikan mengurangi risiko infeksi malaria pada ibu hamil yang positif HIV.

“Kami merayakan temuan ini, yang menawarkan tambahan sumber daya obat untuk melawan penyakit yang mengancam sekitar 70 persen populasi kita,” kata Elijah Songok, penjabat direktur jenderal Kenya Medical Research Institute (KEMRI), dalam sebuah pernyataan yang dirilis di Nairobi, ibu kota Kenya.

Menurut Songok, malaria pada kehamilan dapat memicu komplikasi yang mengancam jiwa, termasuk risiko keguguran, bayi lahir mati (stillbirth), kelahiran prematur, dan gangguan pertumbuhan pada bayi yang baru lahir.

Banner

Dia menambahkan bahwa koinfeksi dengan HIV dapat berakibat fatal bagi wanita hamil, sehingga perlu segera dikembangkan obat baru yang dapat mengurangi infeksi di negara-negara Afrika sub-Sahara yang sangat endemik.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan dosis harian antibiotik kotrimoksazol untuk mencegah malaria pada ibu hamil yang positif HIV, menurut para peneliti di KEMRI.

Ketika parasit malaria menjadi semakin kebal terhadap antibiotik, kemanjurannya semakin berkurang, sehingga para peneliti terdorong untuk mengeksplorasi pengobatan baru yang dibuat khusus untuk negara-negara Afrika yang sangat endemik, jelas para ilmuwan tersebut.

Obat antimalaria dihydroartemisinin-piperaquine
Seorang wanita memasang kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk, yang dapat menyebabkan malaria, di Ouidah, Benin, pada 16 Januari 2024. Pemerintah Benin menerima 215.900 dosis vaksin malaria di Bandar Udara Internasional Cotonou pada Senin (15/1) dan akan mulai mendistribusikannya dalam beberapa bulan ke depan. Malaria masih menjadi endemik di Benin dan merupakan penyebab utama kematian di kalangan anak-anak di bawah usia lima tahun (balita), mencakup 40 persen dari konsultasi rawat jalan dan 25 persen dari semua pasien rawat inap di negara itu. (Xinhua/Seraphin Zounyekpe)

Feiko ter Kuile, seorang profesor Epidemiologi Tropis di Liverpool School of Tropical Medicine sekaligus pemimpin penelitian ini, mengatakan bahwa obat baru ini mengurangi insiden malaria di kalangan wanita hamil dan wanita pengidap HIV sebesar 68 persen, berdasarkan hasil uji klinis.

Obat baru ini menunjukkan tingkat keamanan dan toleransi yang tinggi, mencegah dua dari tiga infeksi malaria selama kehamilan, kata Hellen Barsosio, seorang ilmuwan penelitian klinis dari Pusat Penelitian Kesehatan Global KEMRI.

Barsosio menambahkan bahwa penemuan obat malaria baru untuk ibu hamil yang positif HIV dapat mengarah pada penyesuaian kembali kebijakan kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Afrika.

Banner

Simon Kariuki, kepala program malaria di Pusat Penelitian Kesehatan Global KEMRI, mengatakan bahwa pengembangan obat baru yang dikombinasikan dengan uji coba serupa yang sedang dilakukan di Gabon dan Mozambik akan merevitalisasi pencegahan malaria di Afrika.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan