Jakarta (Indonesia Window) – Harga minyak naik mencapai yang tertinggi dua bulan pada akhir perdagangan Rabu (12/1) atau Kamis pagi WIB, karena pasokan ketat ketika persediaan minyak mentah di Amerika Serikat, konsumen utama dunia, turun ke level terendah sejak 2018, serta dolar melemah dan kekhawatiran varian virus corona Omicron mereda.
Minyak mentah West Texas Intermediate untuk pengiriman Februari bertambah 1,42 dolar AS atau 1,7 persen, menjadi menetap di 82,64 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Minyak mentah Brent untuk pengiriman Maret naik 95 sen atau 1,1 persen, menjadi ditutup pada 84,67 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Persediaan minyak mentah AS turun 4,6 juta barel pekan lalu menjadi 413,3 juta barel, terendah sejak Oktober 2018, kata Badan Informasi Energi (EIA). Para analis memperkirakan dalam jajak pendapat Reuters untuk penurunan 1,9 juta barel.
“Penarikan minyak mentah lebih besar dari yang diperkirakan meskipun ada penurunan material dalam aktivitas penyulingan,” kata Matt Smith, analis minyak utama untuk Amerika di Kpler, sebuah perusahaan data, dikutip dari Reuters.
Penurunan dolar adalah pendorong utama dari harga minyak yang lebih tinggi, bahkan melampaui dampak penarikan EIA, kata Smith dari Kpler. Greenback yang lebih lemah membuat kontrak minyak berdenominasi dolar lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Dolar jatuh ke level terendah baru dua bulan terhadap sejumlah mata uang utama lainnya setelah data menunjukkan harga konsumen AS naik kuat pada Desember.
Kontrak Brent mengalami kemunduran, dengan pengiriman bulan depan sekitar 4,41 lebih mahal daripada pengiriman dalam enam bulan, menunjukkan pasokan jangka pendek yang ketat.
Persediaan minyak mentah AS telah turun selama tujuh pekan berturut-turut, dan persediaan secara keseluruhan telah diperketat di seluruh dunia karena produsen utama berjuang untuk meningkatkan pasokan bahkan ketika permintaan meningkat meskipun kasus Omicron juga naik.
Produsen OPEC+, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, masih menahan lebih dari 3 juta barel per hari (bph) dalam produksi, sementara ekspor Iran terhambat oleh sanksi AS.
Meskipun OPEC+ menaikkan target produksi setiap bulan, kesulitan teknis telah menghambat beberapa negara mencapai kuota mereka.
Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell mengatakan ekonomi AS harus menghadapi lonjakan COVID-19 saat ini dengan hanya dampak “berumur pendek” dan siap untuk memulai kebijakan moneter yang lebih ketat.
“Dengan asumsi China tidak mengalami pelambatan tajam, bahwa Omicron benar-benar menjadi Omi-gone, dan dengan kemampuan OPEC+ untuk meningkatkan produksi jelas terbatas, saya tidak melihat alasan mengapa minyak mentah Brent tidak dapat bergerak menuju 100 dolar AS di kuartal pertama, mungkin lebih cepat,” kata analis Oanda, Jeffrey Halley.
“Ada banyak hasil variabel dalam kalimat sebelumnya, ancaman terbesar adalah Omicron di China, India dan Indonesia,” imbuhnya.
Laporan: Redaksi