Jakarta (Indonesia Window) – Harga minyak jatuh sekitar dua persen pada akhir perdagangan Senin (24/1) atau Selasa pagi WIB terpukul kekhawatiran investor atas kemungkinan kenaikan suku bunga yang lebih cepat dari perkiraan oleh Federal Reserve AS (The Fed) yang menekan pasar-pasar berisiko seperti ekuitas sementara dolar menguat.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Maret tergelincir 1,62 dolar AS atau 1,8 persen, menjadi menetap di 86,27 dolar AS per barel.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Maret jatuh 1,83 dolar AS atau 2,2 persen menjadi ditutup di 83,31 dolar AS per barel.
Kedua harga acuan minyak telah naik untuk pekan kelima berturut-turut pada pekan lalu, melonjak sekitar 2,0 persen untuk mencapai level tertinggi sejak Oktober 2014.
Harga minyak naik lebih dari 10 persen sepanjang tahun ini di tengah kekhawatiran atas pengetatan pasokan dan OPEC+ sekarang berjuang untuk mencapai target kenaikan produksi bulanan 400.000 barel per hari.
Saham-saham Wall Street merosot, setelah pekan lalu membukukan pekan terburuk sejak 2020, menarik aset-aset berisiko lainnya seperti minyak mentah.
“Semuanya dibawa ke gudang kayu (wood shed) dan gudang kayu adalah tempat yang cukup ramai,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital Management.
Relative Strength Index, ukuran sentimen pasar jangka pendek, hingga Senin (24/1) diperdagangkan pada level yang dianggap sebagai indikasi koreksi jangka pendek dalam minyak.
“Gambaran besar, kami percaya minyak akan naik lebih tinggi dalam jangka panjang, tetapi dalam jangka pendek kami telah overbought dan dijejali risiko geopolitik,” kata Flynn.
Saham-saham jatuh sementara dolar naik ke level tertinggi dua pekan terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada Senin (24/1), terangkat oleh ketegangan antara Rusia dan Barat atas Ukraina dan kemungkinan sikap yang lebih hawkish (agresif) dari The Fed pekan ini.
Ketegangan di Ukraina telah meningkat selama berbulan-bulan setelah Rusia mengumpulkan pasukan di dekat perbatasannya, memicu kekhawatiran gangguan pasokan di Eropa Timur.
Di Timur Tengah, Uni Emirat Arab mencegat dan menghancurkan dua rudal balistik Houthi yang menargetkan negara Teluk itu pada Senin (24/1) setelah serangan mematikan sepekan sebelumnya.
Eskalasi lebih lanjut dari situasi di Ukraina dan Timur Tengah “membenarkan premi risiko pada harga minyak karena negara-negara yang terlibat – Rusia dan UEA – adalah anggota penting OPEC+,” kata analis Commerzbank, Carsten Fritsch.
Kepala perusahaan minyak utama AS Occidental Petroleum Corp. dan ConocoPhillips menawarkan pandangan berbeda tentang pertumbuhan produksi minyak AS pada konferensi Senin (24/1).
CEO ConocoPhillips Ryan Lance mengatakan dia optimistis tentang pasar karena harga minyak yang tinggi “akan bertahan untuk sementara waktu,” sedangkan CEO Occidental Vicki Hollub memperkirakan produksi AS akan tumbuh, tetapi gagal mencapai rekor sepanjang masa.
Barclays menaikkan perkiraan rata-rata harga minyak sebesar 5 dolar AS per barel untuk tahun ini, dengan alasan menyusutnya kapasitas cadangan dan meningkatnya risiko politik. Bank mengikuti langkah serupa oleh Morgan Stanley pekan lalu, yang memperkirakan akan melihat minyak 100 dolar AS per barel pada kuartal ketiga.
Laporan: Redaksi