Hubungan diplomatik China-Jepang terus berkembang, dengan berbagai upaya menyelesaikan secara mendasar isu-isu sejarah serta masalah politik antara kedua negara.
Tokyo, Jepang (Xinhua) – Seruan Presiden China Xi Jinping untuk membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia sangat relevan dan diperlukan pada era ini, demikian disampaikan mantan perdana menteri (PM) Jepang Yukio Hatoyama.
Dalam wawancara dengan Xinhua belum lama ini, Hatoyama mengatakan membangun rasa masa depan bersama penting bagi dunia untuk menghindari perpecahan dan mengatasi berbagai tantangan, serta bagi Asia untuk menjaga perdamaian dan mempromosikan pembangunan bersama.
Hatoyama mengenang pada 2012, ketika China dan Jepang memperingati 40 tahun normalisasi hubungan diplomatik, dia bertemu dengan Xi Jinping, yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden China, saat dirinya mengunjungi Beijing pada Maret. “Xi merupakan pemimpin yang berpandangan jauh ke depan dengan visi yang luas,” ungkapnya.
Hatoyama memuji dan menyuarakan dukungan kuat bagi gagasan komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia dalam berbagai kesempatan. “Di Bumi tempat kita hidup, tidak hanya lingkungan yang berfungsi secara keseluruhan, tetapi manusia juga saling terhubung,” ujarnya.
Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI) merupakan jalur penting untuk mewujudkan visi ini, kata Hatoyama, seraya menambahkan bahwa inisiatif tersebut akan membantu mempromosikan pembangunan ekonomi regional dan pertukaran antarnegara, sehingga dapat mencegah perselisihan secara efektif.
“Membangun komunitas Asia-Pasifik dengan masa depan bersama menjadi bagian penting dari visi komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia,” tutur Hatoyama, seraya mengatakan bahwa dirinya memberikan perhatian khusus pada kawasan Asia-Pasifik.
Sembari menunjuk pada sebuah karya kaligrafi China di dinding kantornya di Tokyo yang bertuliskan ‘persaudaraan’, Hatoyama mengatakan bahwa dia memperjuangkan semangat persaudaraan dan selalu mendukung pembentukan komunitas Asia Timur, “visi yang, menurut saya, memiliki banyak kesamaan dengan konsep komunitas Asia-Pasifik dengan masa depan bersama.”
“Asia adalah satu dan membangun perasaan bahwa negara-negara Asia memiliki masa depan bersama adalah sangat penting,” ujarnya.
Ketika Hatoyama mengulas sejarah modern Asia, dia mengatakan bahwa Jepang pernah menginvasi Semenanjung Korea dan China. Asia yang dulunya merupakan medan perang, tidak boleh lagi menjadi medan perang, tetapi menjadi “komunitas tanpa perang” di masa depan, katanya.
Mantan perdana menteri itu mengatakan dirinya percaya bahwa dalam perjalanan menuju komunitas dengan masa depan bersama, perlu kiranya mengatasi masalah ketidakpercayaan antara negara-negara yang bertetangga dan semakin mendekatkan orang-orang dari berbagai negara.
Salah satu alasan utama atas hambatan emosional antara Jepang dan negara-negara tetangganya adalah isu sejarah, dan Jepang harus menerima fakta-fakta sejarah, ungkapnya.
Negara-negara Asia berbagi perhatian yang sama dalam ekonomi dan perdagangan, pendidikan, perawatan kesehatan, olahraga, dan perlindungan lingkungan, kata Hatoyama, seraya menuturkan bahwa berbagai diskusi dan pertukaran lintas bidang ini akan membentuk sebuah komunitas terintegrasi di berbagai bidang yang sangat penting bagi Asia.
Mengenai Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP), yang mulai berlaku awal tahun ini, Hatoyama mengatakan dia percaya bahwa kemitraan itu memberikan landasan bersama bagi sejumlah perekonomian yang relevan untuk melakukan pertukaran perdagangan dan sangat bermanfaat bagi perkembangan ekonomi di seluruh kawasan Asia-Pasifik.
Hatoyama (75), yang juga menjabat sebagai ketua Institut Komunitas Asia Timur, menjabat sebagai perdana menteri Jepang dari September 2009 hingga Juni 2010. Selama periode itu, dia menaruh perhatian besar pada hubungan dengan China dan berkomitmen untuk mempromosikan pertukaran serta kerja sama Jepang-China yang bersahabat sejak dia tidak lagi menjabat sebagai perdana menteri.
Mantan perdana menteri itu sangat setuju dengan gagasan bahwa “persahabatan antara masyarakat memegang kunci bagi hubungan yang baik antar negara,” dan menyatakan kesediaannya untuk melakukan sesuatu bagi pertukaran antarmasyarakat antara Jepang dan China. Demi tujuan ini, Hatoyama sering melakukan perjalanan antara kedua negara.
Tahun ini menandai peringatan 50 tahun normalisasi hubungan diplomatik China-Jepang. Berbicara tentang hubungan bilateral, Hatoyama mengungkapkan bahwa persepsi isu sejarah memengaruhi perkembangan hubungan China-Jepang. Hanya dengan menyelesaikan isu-isu sejarah, masalah politik antara kedua negara dapat diselesaikan secara mendasar.
Dalam kunjungannya ke China pada Januari 2013, Hatoyama mengunjungi Balai Peringatan Korban Pembantaian Nanjing oleh Tentara Jepang. Dia meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan oleh tentara Jepang dan dengan tulus berharap tragedi sejarah seperti itu tidak terulang.
Hatoyama mengenang saat dirinya melihat patung bernama ‘Perdamaian’ yang menampilkan seorang ibu memegang merpati putih di depan balai peringatan itu dan dia menanam pohon ginkgo di tempat itu sebagai simbol perdamaian.
Hatoyama mengatakan bahwa “Hato” dalam bahasa Jepang berarti “merpati”, yang melambangkan perdamaian.
“Saya akan selalu menghargai nama ini dengan makna simbolisnya serta mendorong Jepang untuk menerima sejarah dan menghargai perdamaian,” ujarnya.
Laporan: Redaksi