Banner

Telaah – ‘Slow Tourism’ janjikan perjalanan wisata yang lebih bermakna dan ramah lingkungan

Seorang wisatawan menikmati pemandangan matahari terbenam di tepi pantai Tanjung Lesung, Banten, pada 11 Agustus 2023. (Indonesia Window)

Kunci dari slow tourism adalah kerangka berpikir dari wisatawan itu sendiri yang seharusnya ingin mendapatkan pengalaman nyata dan pengetahuan baru dari berwisata.

 

Bogor, Jawa Barat (Indonesia Window) – Saat dunia memasuki aktivitas yang ‘serba cepat’ dengan fast food, fast fashion, atau fast transportation, di akhir 1980-an di Kota Roma, Italia, muncul gerakan ‘slow food’ setelah banyak berdiri restoran cepat saji.

Alih-alih menikmati makanan cepat saji, slow food menekankan pada pentingnya menikmati makanan lokal dengan perlahan, menghargai proses pembuatannya, dan mendukung petani serta produsen lokal. Konsep ini kemudian merambah ke dunia pariwisata, di mana pelancong diajak untuk meninggalkan gaya wisata konvensional yang seringkali terburu-buru dan penuh dengan agenda padat.

Dalam diskusi baru-baru ini, Peneliti Pusat Riset Kebijakan Publik (PRKP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Basuki Antariksa, mengatakan berwisata saat ini dilakukan dalam waktu yang sangat singkat dengan agenda yang padat. Pada akhirnya, hal ini tidak membuat orang senang, justru menimbulkan stres.

‘Slow Tourism’ atau ‘Wisata Lambat’ tidak hanya sekadar tentang menikmati perjalanan dengan tempo yang lebih santai, tetapi juga tentang menghargai setiap momen, membangun hubungan yang lebih dalam dengan destinasi yang dikunjungi, serta mendukung keberlanjutan lingkungan dan budaya setempat.

Banner

Slow Tourism bukan tentang berapa banyak destinasi yang bisa dikunjungi dalam satu perjalanan, melainkan tentang seberapa dalam pengalaman yang didapat dari setiap tempat. Ini adalah tentang menghabiskan waktu lebih lama di satu lokasi, mengenal budaya lokal, mencicipi kuliner tradisional, dan berinteraksi dengan masyarakat setempat.

Basuki menegaskan, slow tourism bukan ‘musuh’ dari fast tourism tetapi mass tourism, karena slow tourism bersifat menyeluruh (holistik).

“Yaitu, berbicara tentang bagaimana kita mengurangi dampak terhadap lingkungan, berusaha berada lebih lama di destinasi wisata, membeli produk lokal, dan lainnya. Dengan begitu, seseorang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, membantu perekonomian lokal, mendapatkan sesuatu yang bermakna, dan dapat menikmati wisatanya,” urai Basuki.

Meskipun menawarkan nilai lebih, lanjutnya, penerapan slow tourism, khsusnya di Indonesia, masih menghadapi sejumlah tantangan.

“Dari sisi kebijakan, konsep ini menentukan ada pembatasan jumlah kunjungan wisatawan, penggunaan berbagai alat ukur untuk pembatasan pertumbuhan di bidang kepariwisataan, mempertahankan lahan produktif, mendorong penggunaan sarana transportasi umum dan/atau ramah lingkungan, serta lainnya,” jelas Basuki.

Seorang pengunjung berbelanja makanan lokal di area peristirahatan Banjaratma yang terletak di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, pada 16 Maret 2022. (Indonesia Window)

Peneliti Pusat Riset Ekonomi, Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN, Roby Ardiwidjaja, juga menanggapi konsep tersebut sebagai pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan yang berkualitas.

Banner

Menurutnya, kunci dari slow tourism adalah kerangka berpikir dari wisatawan itu sendiri yang seharusnya ingin mendapatkan pengalaman nyata dan pengetahuan baru dari berwisata.

Selain itu, kata Roby, pada umumnya berbagai kegiatan pembangunan termasuk pembangunan pariwisata sering kali melupakan keberlanjutan, yang mengakibatkan peningkatan kerusakan lingkungan akibat emisi gas buang, dan degradasi budaya.

Dia melihat, penyelenggaraan pariwisata konvensional masih berfokus pada wisata massal. Maka terjadi perubahan tren wisatawan yang menuntut produk wisata harus menampilkan lokalitas. Hal ini mendorong munculnya konsep-konsep pariwisata baru, salah satunya konsep slow tourism.

Hingga kini slow tourism masih terus diteliti beberapa negara maju untuk dikembangkan sebagai konsep wisata yang fokus pada upaya menegasikan kondisi wisata massal. Hal ini masih terbuka untuk terus dikembangkan guna memperkuat aspek terminologi, definisi, dan konsep.

“Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata pun belum melakukan identifikasi produk-produk slow tourism,” ujar Roby.

Salah satu bentuk slow tourism yang diusulkan oleh kedua peneliti tersebut adalah pengolahan makanan melalui wisata kuliner dan gastronomi.

Banner

Wisata kuliner diharapkan dapat menumbuhkembangkan sumber daya seni kuliner gastronomi lokal, mengembangkan ekonomi lokal dan meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal, melestarikan budaya dan lingkungan, serta meningkatkan kepuasan wisatawan dalam memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru.

Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UN Tourism) menyebutkan empat pilar tata kelola destinasi pariwisata berkelanjutan, dengan 10 kriteria, 38 sub kriteria, 174 indikator. Semua berhubungan dengan 17 program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pedoman ini dapat digunakan sebagai contoh untuk membuat kebijakan pariwisata.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan