Krisis likuiditas uang tunai di Gaza telah sangat menurunkan daya beli konsumen, mengancam akses masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan pokok, membatasi kapasitas bisnis untuk membeli barang dan membayar upah, serta meningkatkan ketergantungan pada bantuan kemanusiaan, di antara banyak masalah lainnya.
Gaza, Palestina (Xinhua/Indonesia Window) – Emad Abu Shanab, seorang pria Palestina yang mengungsi dan tinggal di Deir al-Balah, Gaza tengah, berjuang keras untuk mendapatkan uang tunai demi memenuhi kebutuhan keluarganya yang beranggotakan delapan orang.
“Ketika saudara saya di Turkiye mengirimi saya uang, gerai penukaran uang akan memotong sekitar 20 persen dari nominal uang tersebut (jika saya ingin menariknya),” kata ayah berusia 45 tahun itu kepada Xinhua.
“Dengan tidak adanya layanan perbankan, saya terpaksa menggunakan jasa makelar yang mengenakan komisi tinggi,” keluhnya. “Saya perlu membeli makanan untuk anak-anak saya.”
Meskipun dia dapat menarik uang tunai, kesulitan lain yang dihadapi Abu Shanab adalah uang kertas usang yang sering kali tidak diterima oleh para pedagang.
“Kami sangat membutuhkan uang karena kondisi sulit yang kami alami dan tingginya biaya hidup selama konflik,” katanya.
Israel melancarkan serangan berskala besar terhadap Hamas di Jalur Gaza untuk membalas serangan mendadak Hamas di perbatasan Israel selatan pada 7 Oktober 2023 lalu.
Selama berbulan-bulan, Israel telah mencegah masuknya uang tunai ke Jalur Gaza, sehingga Gaza kini mengalami kelangkaan uang tunai yang parah.
Menurut pembaruan yang dirilis oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) pada pertengahan September, saat ini hampir tidak ada anjungan tunai mandiri (ATM) yang berfungsi di Jalur Gaza. Sebelum Oktober 2023, terdapat 91 ATM yang berfungsi di daerah enklave pesisir tersebut.
“Krisis likuiditas uang tunai di Gaza telah sangat menurunkan daya beli konsumen, mengancam akses masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan pokok, membatasi kapasitas bisnis untuk membeli barang dan membayar upah, serta meningkatkan ketergantungan pada bantuan kemanusiaan, di antara banyak masalah lainnya,” ujar OCHA pada pertengahan Juli lalu.
“Dengan berlanjutnya konflik dan blokade Israel di Gaza, kami menghadapi krisis keuangan karena kelangkaan uang tunai dan penerapan komisi yang tinggi oleh gerai-gerai penukaran uang saat kami ingin mengambil gaji,” keluh Aisha Abdullah, seorang pengungsi yang tinggal di Deir al-Balah.
“Saya merasa rugi ketika ingin mengambil gaji, yang biasanya dipotong sekitar 20 persen dari nilai dasarnya, dan mereka memberikan kami uang yang tidak dapat digunakan, yang semakin menambah penderitaan kami setiap hari, terutama karena melonjaknya harga-harga,” ujar wanita tersebut.
“Apakah perang, pembunuhan, dan penghancuran tidak cukup? Haruskah kami mati karena kelaparan atau penindasan karena tindakan tidak masuk akal yang dilakukan oleh para pedagang dan perompak bank di Gaza?” tanyanya.
Laporan: Redaksi