Banner

Opini – AS hanya inginkan “bawahan setia” bukan “sekutu” (Bagian 1 dari 2)

Foto yang diabadikan pada 21 Maret 2023 ini menunjukkan barikade besi ditempatkan di dekat gedung Capitol di Washington DC, Amerika Serikat. (Xinhua/Liu Jie)

Beijing, China (Xinhua) – Upaya Washington untuk menekan sekutu-sekutunya yang patuh dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok Tujuh (G7) yang secara resmi ditutup baru-baru ini di Jepang lagi-lagi menjadi bukti bahwa Amerika Serikat (AS), negara yang paling mementingkan dirinya sendiri di dunia, tidak pernah benar-benar menganggap mereka sebagai sahabat.

Dengan mengobarkan api krisis Ukraina untuk menyeret sekutu-sekutu Eropa ke dalam situasi yang sulit dan menekan para sekutu G7 guna bersikap lebih keras terhadap China, AS selalu mengejar doktrin “America First” tanpa memedulikan kepentingan para sekutunya.

AS telah lama memanfaatkan sistem aliansi tersebut untuk mempertahankan hegemoni globalnya. Pemerintah AS, seperti yang diamati oleh anggota parlemen Jerman Sevim Dagdelen, “sebenarnya tidak menginginkan sekutu, melainkan bawahan yang setia.”

Sistem aliansi yang berpusat

Pasca Perang Dunia II, AS mulai membentuk sistem aliansinya yang ditandai dengan berdirinya NATO pada 1949. Dengan pembentukan aliansi bilateral bersama Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Filipina, sebuah jaringan aliansi dunia yang berpusat pada diri sendiri pimpinan AS terbentuk secara bertahap.

Didirikan sebagai respons atas apa yang disebut sebagai “ancaman keamanan” dari Uni Soviet, sistem aliansi pimpinan AS itu, yang seharusnya dibubarkan seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, terus diperkuat sejak saat itu.

Washington telah lama memanfaatkan sistem aliansinya untuk menyebarkan apa yang disebut sebagai retorika “demokrasi versus autokrasi” dalam upaya untuk menyulut konfrontasi dan permusuhan.

Ekspansi NATO ke arah timur merupakan contoh utama terkait hal itu. Dimanipulasi oleh AS, NATO melaksanakan beberapa putaran ekspansi, menekan ruang hidup strategis Rusia dari hari ke hari.

Kini, Washington senang melihat krisis Ukraina berlangsung berlarut-larut atau bahkan meningkat, mengingat krisis itu di satu sisi memungkinkan AS melemahkan Rusia, dan di sisi lainnya, merampas para sekutunya.

Jose Luiz Fiori, pakar ekonomi politik internasional asal Brasil, menyatakan bahwa AS secara tidak etis menggembar-gemborkan “Russophobia” seolah-olah Barat tidak dapat bersatu tanpa mendiskreditkan musuh-musuh eksternalnya.

Taktik serupa juga digunakan untuk membendung China, pertama dengan mendefinisikan China sebagai pesaing strategis dan menggembar-gemborkan apa yang disebut sebagai “ancaman China”, dan kemudian berkomplot dengan sejumlah pihak di kawasan Asia-Pasifik untuk menentang China.

Sejumlah langkah terbaru AS lainnya yakni upaya mengajak Jepang dan Korsel ke dalam aliansi trilateral, menjalin dialog keamanan kuadrilateral guna membangun NATO Asia, dan memperkuat perjanjian keamanan trilateral AUKUS.

“Supremasi global AS dijalin oleh sistem aliansi dan koalisi yang rumit dan menjangkau ke seluruh dunia,” tulis Zbigniew Brzezinski, mantan penasihat dan ahli strategi keamanan nasional AS, dalam bukunya.

Berkedok multilateralisme, pemerintahan Biden sebenarnya mengadopsi doktrin “America First”. Pada dasarnya, sistem aliansi AS yang berpusat pada diri sendiri adalah untuk membendung dan menekan China, menjinakkan dan memanipulasi para sekutunya, serta mempertahankan dan memperluas hegemoninya.

Konferensi Tingkat Tinggi G7
Foto yang diabadikan pada 19 Februari 2020 ini menunjukkan gedung Pentagon yang terlihat dari sebuah pesawat di atas Washington DC, Amerika Serikat. (Xinhua/Liu Jie)

Amerika memperoleh manfaat paling besar

“Kami dengan tanpa penyesalan akan mengejar strategi industri kami di dalam negeri, tetapi kami dengan tegas berkomitmen untuk tidak meninggalkan para sahabat kami,” ujar Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dalam sebuah pidato di Brookings Institution pada April, berupaya menenangkan para sekutunya.

Berfokus pada pembaruan kepemimpinan ekonomi AS, pidatonya tanpa ragu mengungkapkan bahwa AS harus diutamakan dan kepentingan warga AS harus didahulukan di atas para sekutunya.

Brad Glosserman, wakil direktur sekaligus profesor tamu di Center for Rule-Making Strategies di Universitas Tama, menyampaikan bahwa meski retorika Sullivan mungkin terdengar “menyenangkan bagi para mitra tersebut,” tetapi sejumlah legislasi seperti Undang-Undang (UU) Pengurangan Inflasi dan CHIP dan Ilmu Pengetahuan (CHIPS and Science Act) AS, faktanya, lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan AS dibandingkan dengan para pesaingnya yang bersahabat.

Berlanjut ke bagian 2

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan