Jakarta (Indonesia Window) – Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI)
Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LL.M mengingatkan arti pentingnya semangat dan komitmen para advokat dalam membantu penegakan hukum yang diabdikan untuk keadilan bagi semua (Justitia Omnibus).
“Penegakan hukum yang berkepastian dan berkeadilan merupakan cita-cita sekaligus jiwa dari organisasi DePA-RI,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Rabu (1/1).
Ketum DePA-RI mengemukakan pernyataan tersebut di awal tahun baru 2025, sekaligus menjelaskan tentang hasil dari “Pekan Apresiasi dan Pendalaman Pengembangan Hukum Teoritik ke-IIl” yang berlangsung 18 – 22 Desember 2024 di Mataram dan Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pekan apresiasi terkait bidang hukum itu sendiri diselenggarakan oleh Indonesian Ph.D Council (IPC) bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar dan Peneliti Hak Kekayaan Intelektual se-Indonesia (APHKI) dan DePA-RI dengan memfokuskan dialog dan diskusi hukum pada “Pembadanan Keadilan Substantif bagi Semua”.
Rangkaian kegiatan akademik yang berlangsung lima hari itu diselenggarakan secara hybrid, dan diikuti para pembelajar doktor ilmu hukum, dosen dan peneliti serta advokat yang tergabung dalam IPC (296 anggota), APHKI (222 anggota) dan DePA-RI (ribuan anggota).
Dr. Luthfi lebih lanjut mengemukakan, DePA-RI yang mengedepankan Justitia Omnibus itu sendiri adalah organisasi yang resmi, sah dan valid, karena status badan hukumnya sudah diberikan oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum RI.
“Itu artinya DePARI adalah lembaga yang legitimate, sebagai wadah pengorganisasian dan pengoptimasian eksistensi dan peran para advokat dalam penegakan hukum di Indonesia,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Kongres Advokat Indonesia (KAI) NTB Dr. Ainuddin SH., MH menyatakan kesiapannya bersama para anggota KAI lainnya untuk masuk menjadi anggota DePA-RI.
Sementara itu Hayyan ul Haq, SH, LL.M., Ph.D., Founder and Chairman of Indonesian Ph.D Council pada ‘Pekan Apresiasi dan Pendalaman Pengembangan Hukum Teoritik ke-III’ menyatakan, kekuatan DePA-RI terletak pada nilai yang mendasari dan mengikatnya dalam perjuangan yang sama, yaitu keadilan untuk semua.
“Anda para advokat berkumpul di DePA-RI bukan karena kebetulan. Tapi karena diikat dengan nilai, visi dan energi yang sama, dan yang saling menguatkan, yaitu komitmen dan kehendak untuk mewujudkan keadilan substantif bagi semua atau Justitia Omnibus,” kata dosen dan peneliti pada FH Universitas Mataram itu sebagaimana dikutip Ketum DePA-RI.
Dr. Luthfi Yazid juga menyinggung kasus-kasus kontroversial yang menyita perhatian publik seperti pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang menghimbau para koruptor untuk mengembalikan harta negara yang dikorupsi.
Begitu pula terhadap kebijakan kontroversial pemerintah yang mengembalikan para terpidana kembali ke negara mereka masing-masing. Dr. Luthfi Yazid men-challenge strategi seperti apa yang dapat dilakukan dalam menyeimbangkan legal idealism dan legal realism tersebut.
Menurut Ketum DePA-RI, terhadap kedua masalah hukum yang kontroversial itu, Guru Besar dan mantan Dekan FH-UI Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H melihat bahwa secara kongkret Prabowo mengungkapkan komitmennya dalam pemulihan semua kerugian negara yang diakibatkan oleh para koruptor.
Dalam hal ini seharusnya jajaran pemerintah di bawah Presiden, yaitu Menkumham dan aparat penegak hukum segera bekerja untuk memvisualisasikan dan mewujudkan idealitas tersebut.
Langkah yang dilakukan misalnya melalui pembentukan undang-undang atau peraturan seperti Deferred Prosecution Agreement yang mengatur prosedur, proses atau tahapan dalam teknis hukum pidana terkait pengembalian dana yang dikorupsi itu.
Langkah itu sangat penting guna menghindari pendikotomian antara idealitas dan legalitas, dimana seharusnya tidak dipertentangkan atau membuat pilihan antara idealitas dan realitas hukum.
Keduanya adalah mazhab pendekatan yang seharusnya bisa diintegrasikan dalam memvisualisasikan dan mewujudkan pengembanan hukum yang berkeadilan bagi semua (Justitia Omnibus).
Demikian pula ketika menanggapi proses pengembalian tahanan terpidana, Prof. Topo melihat adanya permasalahan di level perundang-undangan, karena sampai saat ini Indonesia belum menandatangani perjanjian (Strassboug Agreement) pengembalian tahanan dan belum memiliki undang undang pemindahan tahanan.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selama ini hanya berdasarkan pada pendekatan non-hukum, melalui bubungan politik dan persahabatan kedua negara. Kebijakan tanpa fondasi normatif yang jelas seperti itu rentan untuk memicu negara lain yang juga menuntut hal yang sama, yaitu pemulangan tahanan dari negara mereka.
Maka, menurut Prof. Topo, Pemerintah harus mengaturnya dalam bentuk perundang-undangan yang jelas, mengingat isu pengembalian tahanan itu harus detail, seperti jenis kejahatan apa yang bisa dipulangkan, hukuman minimal berapa tahun untuk dapat dipulangkan, dan seterusnya.
“Inti dalam dialog tersebut adalah perlunya fondasi normatif yang jelas dalam membadankan idealitas gagasan dan solusi pada pengembanan hukum praktisnya,” demikian Ketum DePA-RI.
Laporan: Redaksi