Jakarta (Indonesia Window) – Anggota parlemen dari Partai Progresif Demokratik Fan Yun dan kelompok masyarakat sipil pada hari Rabu (12/1) meminta Kementerian Pendidikan Taiwan untuk mengambil tindakan segera guna mencegah mahasiswa asing di Taiwan dipaksa bekerja dengan biaya murah.
Pada hari Senin (10/1), The Reporter, outlet berita independen yang berbasis di Taipei, memuat berita tentang 16 mahasiswa Uganda yang terdaftar di Universitas Sains dan Teknologi Chung Chou (CCUT) di Kabupaten Changhua pada tahun 2019, yang kemudian dikirim ke pabrik untuk “magang ” selama berjam-jam dengan gaji rendah.
Laporan itu mengatakan para mahasiswa tidak dapat menolak untuk bekerja karena mereka memiliki hutang biaya sekolah yang sangat besar.
Menurut laporan tersebut, CCUT menjamin beasiswa dan kursus yang diajarkan dalam Bahasa Inggris sebelum kedatangan mereka di Taiwan, tetapi batal memberikan semua biaya tersebut.
Hanya satu mahasiswa yang dilaporkan berhasil keluar dari CCUT dengan pindah ke universitas lain.
Pada konferensi pers di Taipei, Fan mengatakan apa yang terjadi pada mahasiswa Uganda bukanlah kejadian yang hanya terjadi sekali dan menunjukkan bahwa kementerian tidak melakukan apa pun yang efektif untuk mencegah eksploitasi semacam itu.
Fan menyebutkan kasus serupa selama beberapa tahun terakhir, termasuk kasus yang melibatkan 69 mahasiswa Sri Lanka yang datang ke Taiwan untuk belajar di Universitas Kang Ning pada tahun 2018 namun kemudian diminta untuk bekerja secara ilegal di pabrik pengolahan atau rumah jagal.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Hak Asasi Manusia Taiwan Shih Yi-hsiang mengatakan kasus terakhir merupakan perdagangan manusia karena para mahasiswa Uganda ditindas dan dipaksa bekerja di Taiwan.
Shih mengutip indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang mengatakan bahwa para siswa menjadi sasaran pelecehan kerentanan, penipuan, intimidasi dan ancaman, belenggu hutang, kondisi kerja dan kehidupan yang kejam, serta lembur yang berlebihan.
Dia mengkritik kelambanan dan kelalaian kementerian selama bertahun-tahun yang memungkinkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia berlanjut di kampus-kampus Taiwan.
Collines Mugisha, salah satu dari 16 mahasiswa Uganda yang datang ke Taiwan pada 2019, mengatakan pada konferensi pers bahwa dia dulu bekerja lebih dari 10 jam sehari sampai dia dipindahkan ke Universitas Providence di Taichung tahun lalu.
Mugisha, yang awalnya berharap untuk belajar teknik otomatisasi cerdas, mengatakan bahwa dia telah bekerja sebagai operator mesin kontrol numerik komputer (CNC), pekerja lokasi konstruksi, serta pekerja perusahaan logistik selama sekitar dua tahun di CCUT.
Bahkan di sekolah, dia hampir tidak bisa memahami apa pun di kelas karena semua mata kuliah terutama diajarkan dalam bahasa China, tambah Mugisha.
“Saya disiksa baik secara fisik maupun psikologis,” kata Mugisha, seraya menambahkan bahwa dia “sangat kecewa” karena dia tidak dapat menerima pendidikan berkualitas yang dijanjikan staf CCUT Taiwan yang datang ke Uganda untuk merekrut siswa.
Mahasiswa berusia 21 tahun itu mengatakan bahwa dia sekarang belajar di Universitas Providence di mana dia telah diberikan beasiswa penuh dan diberikan mata kuliah “sebagus yang saya harapkan.”
Namun, dia memutuskan untuk berbicara dengan media sekarang karena masih ada kawan-kawannya yang datang ke Taiwan dengan harapan untuk memenuhi impian mereka, menderita hal serupa di CCUT, katanya.
“Jika saya tidak melakukannya, maka banyak mimpi yang akan terkubur,” katanya, serya meminta pihak berwenang Taiwan untuk campur tangan.
Fan meminta Kementerian Pendidikan untuk menyelidiki kasus ini dan menawarkan bantuan segera kepada 15 siswa Uganda yang masih berada di CCUT.
Kementerian harus memperketat tinjauannya terhadap universitas yang ingin merekrut mahasiswa asing dan memastikan bahwa universitas tersebut dapat menyediakan mahasiswa internasional dengan program studi yang sesuai, serta peluang magang yang sesuai dengan bidang studi mereka, kata Fan.
Dia juga mempertanyakan efektivitas hotline yang didirikan oleh MOE pada tahun 2019 bagi mahasiswa asing untuk melaporkan masalah, dengan mengatakan bahwa kementerian harus melakukan perbaikan dan berbuat lebih banyak untuk membantu siswa yang membutuhkan bantuan.
Sekretaris Jenderal Front Buruh Taiwan Son Yu-liam mendesak Kementerian Tenaga Kerja untuk menyelidiki kasus ini, menambahkan bahwa pabrik yang mempekerjakan mahasiswa Uganda mungkin telah melanggar Undang-Undang Standar Tenaga Kerja, yang melarang kerja paksa.
Menyusul laporan pada hari Senin, kementerian mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa penyelidikan awalnya mengindikasikan CCUT telah melakukan “pelanggaran serius,” tetapi gagal untuk menguraikan tindakan tambahan apa pun yang akan diambil untuk membantu para mahasiswa.
Dalam pernyataan lain yang dikeluarkan Rabu, kementerian mengatakan jika universitas atau majikan yang mempekerjakan mahasiswa asing diduga melanggar hukum yang melarang perdagangan manusia dan kerja paksa. Mereka akan melaporkan para pelanggar ke kejaksaan untuk penyelidikan lebih lanjut.
Kementerian Pendidikan telah melarang CCUT merekrut mahasiswa asing dan akan memotong subsidi universitas, kata pernyataan itu, seraya menambahkan bahwa pihaknya telah memerintahkan universitas untuk melakukan perbaikan.
Namun, perwakilan CCUT mengatakan kepada CNA pada hari Senin (10/11) bahwa universitas tidak pernah berjanji untuk memberikan mata kuliah yang diajarkan sepenuhnya dalam Bahasa Inggris. Perwakilan tersebut juga mengatakan CCUT telah menyiapkan beasiswa tetapi ada kemungkinan siswa asing tidak mendattar atau aplikasi mereka ditolak.
Universitas menolak mengomentari laporan tentang mahasiswa Uganda yang dikirim ke pabrik untuk bekerja berjam-jam.
Sumber: Kantor Berita CNA
Laporan: Indonesia Window