Feature – Warga Palestina di Gaza berharap jalani kehidupan normal pada tahun baru 2024

Orang-orang terlihat di sebuah kamp sementara yang berada di antara Jalur Gaza dan Mesir pada 31 Desember 2023. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Jalur Gaza mengalami bombardemen skala besar oleh Israel sejak 7 Oktober tahun lalu, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 21.800 jiwa.

 

Gaza, Palestina (Xinhua) – Di tengah konflik Israel-Hamas yang sedang berlangsung dan situasi kemanusiaan yang memburuk di Jalur Gaza, warga Palestina di daerah kantong tersebut masih menaruh harapan untuk dapat kembali menjalani kehidupan normal pada tahun baru 2024.

Shaimaa al-Yazgi (26), seorang ibu empat anak, terpaksa berpindah 11 kali bersama keluarganya dari satu tempat ke tempat lain demi menghindari kematian di tengah serangan udara Israel yang terus berlanjut.

“Terkadang, kami terpaksa lari ke jalan-jalan dan bersembunyi di rumah orang asing hanya demi melindungi diri dari rudal Israel,” kata perempuan Palestina itu kepada Xinhua.

Sembari terus berpikir positif tentang perjalanan mengungsi keluarganya yang berisiko, al-Yazgi mengatakan, “Ketika kami selamat dari setiap serangan Israel, saya merasa bahwa kami memiliki nasib yang beruntung, dan inilah yang mendorong saya untuk tetap optimistis bahwa kami akan selamat dari perang mematikan yang tengah berlangsung sekarang.”

Saat ini, al-Yazgi tinggal di sebuah tenda sementara yang didirikan di bagian barat Kota Rafah di Gaza selatan, dan sedang menghadapi kelangkaan air, makanan dan listrik.

“Saya hanya berharap agar dapat melanjutkan hidup saya meski saya masih belum tahu bagaimana nasib saya nantinya,” ujarnya.

Jalur Gaza mengalami bombardemen
Orang-orang memeriksa puing-puing sebuah rumah pascaserangan udara Israel di kamp pengungsi Al-Maghazi di Jalur Gaza tengah, pada 31 Desember 2023. (Xinhua)

Tidak jauh dari tendanya, Mohammed Abu Hamda, seorang pengungsi dari Beit Lahia, Gaza utara, duduk di kursi dan mendengarkan siaran berita melalui radio selulernya.

“Sepanjang hari, saya menantikan kabar baik tentang gencatan senjata yang dicapai antara Hamas dan Israel,” ujar ayah sembilan anak berusia 59 tahun tersebut kepada Xinhua.

“Pada malam seperti ini,” kenang lelaki tua tersebut, “putri, putra, dan cucu saya biasanya mengunjungi saya dan merayakan tahun baru… Kami biasanya menyantap kue dan manisan, serta mengucapkan selamat tahun baru kepada kami semua.

Meski sedang berduka karena saat ini hidupnya berubah drastis, mengingat dia kehilangan rumah, pekerjaan, dan segalanya di Gaza, pria Palestina itu tetap berharap bisa kembali ke kampung halamannya dan segera berkumpul kembali dengan keluarganya.

Mariam al-Jamali, seorang wanita muda Palestina, juga merindukan suasana meriah yang biasa dia saksikan di hari terakhir setiap tahun.

“Pada tahun-tahun sebelumnya, saya biasanya menikmati perayaan tahun baru di jalanan bersama keluarga saya,” ungkap perempuan berusia 25 tahun tersebut kepada Xinhua, seraya mengeluhkan bahwa “suasana secara umum saat ini menyedihkan. Tidak ada lampu di jalanan, dan orang-orang hanya sibuk mengatasi penderitaan mereka sehari-hari.”

Dia berharap bahwa sebuah terobosan akan dicapai dalam perundingan untuk mencapai gencatan senjata yang akan memungkinkan semua warga Gaza melanjutkan kembali kehidupan mereka.

Daerah kantong Palestina itu mengalami bombardemen skala besar oleh Israel sejak 7 Oktober tahun lalu, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 21.800 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan yang berbasis di Gaza.

Eskalasi Israel terjadi sebagai langkah balasan atas serangan mendadak yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu, di mana militan Hamas membunuh sekitar 1.200 warga di Israel dan menyandera lebih dari 200 orang, menurut penghitungan Israel.

Jalur Gaza mengalami bombardemen
Seorang wanita terlihat di dalam sebuah rumah yang rusak pascaserangan udara Israel di Kota Rafah di Jalur Gaza selatan, pada 29 Desember 2023. (Xinhua/Yasser Qudih)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan sekitar 1,9 juta orang di Gaza, atau sekitar 85 persen dari total populasi di Jalur Gaza, terpaksa mengungsi sejak konflik tersebut pecah, sementara sebagian dari mereka terpaksa mengungsi beberapa kali untuk menghindari serangan Israel dan mencari perlindungan yang aman.

“Hampir separuh populasi menderita kelaparan dan menghabiskan waktu seharian penuh tanpa makan,” sebut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dalam pernyataan persnya, seraya memperingatkan bahwa lebih banyak orang berpotensi meninggal akibat kelaparan jika konflik terus berlanjut.

Badan PBB tersebut menyerukan komunitas internasional untuk menekan Israel agar menghentikan operasi militernya terhadap Gaza dan mengizinkan bantuan kemanusiaan menjangkau mereka yang terjebak di wilayah kantong pesisir yang terkepung itu.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan