Oleh: M. Wahid Supriyadi*
Perhelatan besar tentang upaya mengakhiri permasalahan polusi akibat sampah plastik akan diselenggarakan di Busan, Republik Korea, pada 25 November sampai 1 Desember 2024.
Pertemuan yang disebut Intergovernmental Negotiating Committee-5 (INC-5) itu diharapkan akan menyelesaikan naskah Perjanjian Plastik Global (Global Plastic Treaty/GPT) yang mengikat seluruh negara di dunia. Perjanjian ini menunjukkan dunia telah mengakui bahwa pola produksi dan konsumsi plastik yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan pencemaran lingkungan serta berkontribusi pada triple planetary crisis (perubahan iklim, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati) yang merupakan ancaman bagi masa depan manusia.
Negosiasi tersebut tentunya tidak akan berjalan mulus. Bagi negara maju yang sudah memiliki teknologi yang mumpuni, kemampuan kapasitas, dan dukungan finansial yang memadai, umumnya menuntut agar perjanjian ini bersifat mengikat. Sebaliknya, bagi negara-negara penghasil minyak yang mengandalkan produksi bahan baku plastik seperti polyethylene (PE) dan polypropylene (PP), serta negara-negara yang bergantung pada industri manufaktur berbahan baku plastik, perjanjian tersebut akan memberikan dampak fundamental kepada perekonomian mereka.
Negara-negara berkembang (emerging countries) akan membutuhkan waktu transisi diakibatkan keterbatasan akses pendanaan dan teknologi, apabila perjanjian tersebut bersifat diterapkan secara kaku.
Kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia menginginkan adanya prinsip tanggung jawab bersama, dan berdasarkan kesiapan serta prioritas masing-masing.
Plastik, manusia, dan lingkungan
Plastik pertama kali ditemukan pada 1904 dan diproduksi massal pada 1920-an. Saat ini, hampir tidak ada material di keseharian kita yang tidak bersinggungan dengan plastik. Sifat plastik yang murah, awet, dan ringan masih belum tergantikan oleh bahan lain. Memang sudah ada teknologi untuk membuat plastik yang mudah larut di alam (biodegradable), namun tetap berisiko terurai menjadi mikroplastik.
Plastik membutuhkan waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk terurai secara alami. World Economic Forum (WEF) memperkirakan pada 2050 akan terdapat lebih banyak sampah plastik di laut dibandingkan jumlah ikan apabila tidak ada tindakan yang serius.
Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkapkan, produksi plastik dunia pada 2020 berada di angka 431 juta ton per tahun dengan proyeksi pada 2040 akan mencapai 736 juta ton. Tentunya, dari produksi dan konsumsi masal tanpa pengelolaan yang baik, akan mengakibatkan kebocoran ke lingkungan. Sampah plastik sendiri yang berakhir di sungai, danau, dan lautan pada 2040 diproyeksikan akan mencapai 300 juta ton.
Menurut Our World in Data, jumlah sampah plastik meningkat tajam sejak 70 tahun terakhir. Pada 1950, dunia hanya memproduksi sekitar 2 juta ton sampah, namun saat ini diperkirakan mencapai 450 juta ton. Sekitar 43% sampah plastiik diseluruh dunia dibuang sembarangan, atau tidak dikelola dengan baik. Hal ini mengakibatkan tingkat daur ulang hanya berada di angka 6% (OECD, 2024).
Instrumen internasional akhiri polusi plastik
Menyadari gentingnya ancaman polusi plastik terhadap lingkungan dan manusia, United Nations Environment Assembly (UNEA) dalam sidang yang dihadiri 175 negara anggota mengeluarkan resolusi nomor 5. 14 pada 2022, yang mendorong terbentuknya perjanian internasional yang mengikat secara hukum (International Legally Binding Instrument) yang dikenal sebagai Global Plastic Treaty (GPT). UNEA selanjutnya menugaskan UNEP (United Nations Environment Program) untuk menyelenggarakan sidang yang melibatkan pemerintah dan semua pemangku kepentingan yang disebut sebagai Intergovernmental Negotiating Committee (INC).
GPT diharapkan dapat mendorong inovasi baru untuk menggantikan bahan pengganti plastik yang ramah lingkungan dan mendorong green economy dengan penerapan ekonomi sirkular untuk plastik. Namun bagi negara berkembang, biaya transisi yang tinggi akibat kurangnya infrastruktur, teknologi, dan kapasitas untuk mengelola sampah merupakan tantangan besar yang harus dilewati.
Perundingan yang alot
Mengingat beranekaragamnya negara-negara pihak, proses negosiasi dipastikan akan berjalan cukup alot, terfokus kepada sifat GPT yang mengikat atau berdasarkan prinsip sukarela (voluntary-approach provision). Walaupun dengan prinsip sukarela, setiap negara pihak akan tetap dituntut untuk membuat rencana aksi nasional, guna memastikan pencapaian pengurangan polusi plastik. Bagian-bagian penting GPT yang sedang dinegosiasikan antara lain adalah aspek pengaturan plastik polimer (termasuk perdagangan dan komponen bahan kimia yang dipakai), mikroplastik, mobilisasi pendanaan, transisi yang berkeadilan, tanggung jawab produsen, desain kemasan, rencana aksi nasional, implementasi dan kepatuhan, serta sistem pengawasan.
Sangat menarik untuk diikuti arah dialog, diskursus, dan negosiasi paska INC-5 yang akan membahas detail-detail instrument. Jika naskah GPT dapat disepakati, masih diperlukan waktu lagi bagi masing-masing negara untuk meratifikasinya.
Peran Indonesia dan dampak dari GPT
Cottom, et. all (2024) mengungkapkan dalam riset berjudul “A local-to-global emissions inventory of macroplastic pollution”, menyebutkan Indonesia merupakan penyumbang polusi plastik nomor tiga di dunia, dengan estimasi kebocoran sampah plastik (tidak termasuk mikroplastik) 3,4 juta ton per tahun. Hal ini sangat ironis karena konsumsi plastik per kapita Indonesia relatif rendah sekitar 22 kg per kapita per tahun.
Melalui Peraturan Presiden 83 tahun 2018, pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi kebocoran sampah plastik ke laut sebesar 70 persen pada 2025, dengan target mendekati nol pada 2040. Sampai tahun 2023, sekitar 41 persen target telah terpenuhi dan pemerintah perlu kerja keras lagi untuk memenuhi target tersebut. Di pertengahan 2024, KLHK meluncurkan dokumen Zero Waste Zero Emission 2025, yang menargetkan Indonesia beremisi nol bersih (net zero) pada 2050.
Selain itu, Indonesia memiliki kebijakan yang menjadi landasan pelaksanaan tanggung jawab produsen (extended producers responsibilities/EPR) yang tercantum dalam UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Produsen wajib untuk mengembangkan peta jalan dengan target pada 2029 sampah pasca-konsumsi (termasuk plastik) dapat dikurangi sampai 30 persen.
Indonesia harus melihat GPT sebagai langkah awal untuk mendorong ekonomi hijau menuju Indonesia Emas 2045. Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain:
• Pemerintah harus mengambil langkah-langkah ambisius dan terukur terhadap produksi dan konsumsi plastik.
• Pemerintah perlu menghadirkan sistem yang berorientasi pada perubahan perilaku masyarakat dan penerapan sistem pengolaan sampah rumah tangga yang sederhana dan dapat diterapkan.
• Menerapkan skema extended producer responsibility (EPR) yang sistematis, transparan, dan universal.
• Memperkuat inovasi dan kewirausahaan untuk material pengganti plastik yang dapat yang ramah lingkungan
Indonesia sendiri melalui inisiatif National Plastic Action Partnership (NPAP) , di bawah kordinasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi sejak tahun 2020 telah menjadi wadah bagi multipihak untuk merencanakan, menjalankan, dan mendesiminasikan inisiatif-inisiatif yang dapat meningkatkan pengurangan sampah plastik.
Dengan adanya penyusunan dan pelaksanaan GPT, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara yang memiliki ambisi untuk mengatasi permasalahan sampah dan polusi plastik melalui kolaborasi.
Selesai
*Penulis adalah Chairman National Plastic Action Partnership (NPAP); Duta Besar RI untuk UAE (2008-2011) dan Duta Besar RI untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus (2016-2024).