Jakarta (Indonesia Window) – Indonesia membutuhkan dana investasi sebanyak 167 miliar dolar AS untuk mengembangkan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) berkapasitas 56 Gigawatt (GW).
“Kita membutuhkan investasi sekitar 167 miliar dolar AS untuk mencapai target penurunan emisi di tahun 2030, dengan membangun 56 GW pembangkit EBT tambahan,” kata Direktur Lingkungan Hidup pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam di Jakarta, Jumat, menurut Kantor Berita Antara.
Menurut dia, tahun ini pemerintah menargetkan investasi pada sektor energi hijau senilai 2,05 miliar AS, atau lebih tinggi dibandingkan capaian investasi pada 2020 sebesar 1,36 miliar AS.
Berdasarkan kajian Bappenas, ada enam jenis EBT yang tersedia dan telah dikembangkan secara komersial di Indonesia, yakni tenaga surya, angin, panas bumi, dan bioenergi.
Sementara energi terbarukan potensial yang belum dikembangkan di tanah air di antaranya adalah gelombang air laut dan hidrogen.
“Total potensi EBT untuk pembangkit listrik yang ada di Indonesia diperkirakan sebesar 419 GW. Dari total potensi tersebut, hampir setengahnya adalah tenaga surya sebesar 207 GW, lalu tenaga air 75 GW, dan angin 60 GW,” kata Medrilzam.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia menargetkan bauran energi hijau sebesar 23 persen pada 2025, dan penurunan emisi karbon sebesar 29 persen pada 2030 sesuai Paris Agreement.
“Bauran energi saat ini berada di angka 11,5 persen dari target sebesar 23 persen. Sebagai upaya mencapai target tersebut, pemerintah mendorong pengembangan EBT dalam bentuk peraturan, stimulus, dan insentif,” ujar Medrilzam.
Data Kementerian ESDM menyebutkan, kapasitas pembangkit EBT di Indonesia pada 2020 sebesar 10.467 Megawatt (MW), yang terdiri atas 3,6 MW tenaga hibrid, 154,3 MW tenaga angin, 153,8 MW tenaga surya, 1.903,5 MW tenaga bio, 2.130,7 MW tenaga panas bumi, dan 6.121 MW tenaga air.
Laporan: Redaksi