Jakarta (Indonesia Window) – Harga minyak dunia anjlok lebih dari dua persen pada akhir perdagangan Rabu (15/6) atau Kamis pagi WIB, karena pasar khawatir tentang penurunan permintaan setelah Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga tiga perempat poin persentase.
Harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Agustus anjlok 2,7 dolar AS atau 2,2 persen, hingga akhirnya menetap di 118,51 dolar AS per barel, setelah sebelumnya sempat jatuh ke level terendah di sesi 117,75 dolar AS.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Juli, tergelincir 3,62 dolar AS atau 3,04 persen, dan akhirnya ditutup pada 115,31 dolar AS per barel, setelah sebelumnya sempat turun ke level terendah di sesi 114,60 dolar AS.
Kenaikan suku bunga terbesar oleh bank sentral AS sejak tahun 1994 juga berimbas pada nilai tukar dolar yang lebih tinggi, dengan indeks dolar naik ke level tertinggi sejak tahun 2002. Greenback yang lebih kuat membuat minyak yang dihargakan dalam dolar AS lebih mahal bagi pemegang mata uang lain, akhirnya memutuskan untuk membatasi permintaan.
Sementara itu, produksi minyak mentah AS, yang sebagian besar stagnan selama beberapa bulan terakhir, naik tipis 100.000 barel per hari pekan lalu menjadi 12 juta barel per hari. Ini adalah level tertinggi sejak April 2020, menurut data dari Badan Informasi Energi AS (EIA).
“Sedikit peningkatan dalam produksi domestik mungkin merupakan tanda pertama dari lebih banyak lagi yang akan datang ke sana,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC.
Data juga menunjukkan peningkatan stok minyak mentah AS dan persediaan sulingan, sementara bensin tercatat mengalami penurunan signifikan setelah musim panas.
Masih dari sumber yang sama, pengemudi di seluruh dunia mau tidak mau harus menoleransi rekor harga tertinggi untuk bahan bakar kendaraan saat ini.
Sementara itu, Bank Sentral Eropa saat ini menjanjikan dukungan baru dan alat baru pada Rabu (15/6) untuk meredam kekalahan pasar yang telah mengipasi kekhawatiran krisis utang baru di tepi selatan kawasan euro. Sayang tampaknya kebijakan tersebut telah terlanjur mengecewakan para investor yang mencari langkah lebih berani.
Selain itu, wabah COVID terbaru di China tampaknya juga telah menimbulkan kekhawatiran akan fase baru penguncian, sehingga semakin menambah penurunan permintaan.
Harga minyak yang lebih tinggi dan perkiraan ekonomi yang melemah meredupkan prospek permintaan berjangka, kata Badan Energi Internasional.
Tapi kekhawatiran terus-menerus tentang pasokan yang ketat berarti harga minyak masih bertahan di dekat $120 AS per barel.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, kini tengah berjuang untuk mencapai kuota produksi minyak mentah bulanan mereka, yang baru-baru ini juga dilanda krisis politik di Libya.
“Karena produksi OPEC masih jauh dari tingkat yang diumumkan, ini akan mengakibatkan defisit pasokan sekitar 1,5 juta barel per hari di pasar minyak pada paruh kedua tahun ini,” kata Carsten Fritsch, analis komoditas di Commerzbank di Frankfurt.
Harga minyak memperoleh beberapa dukungan dari pasokan bensin yang ketat. Presiden AS Joe Biden mengatakan kepada perusahaan-persusahaan minyak untuk menjelaskan mengapa mereka tidak memasukkan lebih banyak bensin ke pasar.
Laporan: Redaksi