Banner

Analisis – G7 yang dimanipulasi AS pecah belah dunia dan ciptakan ketegangan

Orang-orang berunjuk rasa dalam aksi protes menentang KTT Kelompok Tujuh (G7) di Hiroshima, Jepang, pada 20 Mei 2023. (Xinhua/Zhang Xiaoyu)

G7, dengan daya ekonomi yang melemah secara signifikan, tidak dapat mewakili dunia, tetapi mereka telah gagal menghadapi tren umum saat ini dan terpaku pada mentalitas Perang Dingin.

 

Hiroshima, Jepang (Xinhua) – Di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok Tujuh (Group of Seven/G7) yang dimulai di Hiroshima pada Jumat (19/5), kelompok pimpinan Amerika Serikat (AS) itu kembali menggembar-gemborkan apa yang mereka sebut sebagai “hukum dan ketertiban”, sementara para pengamat politik telah menyanggah dengan tepat esensi kebohongan mereka, yakni sebuah skema untuk memainkan politik kelompok kecil dan mendikte seluruh dunia.

G7 pada Sabtu (20/5) merilis sebuah pernyataan perihal ketahanan dan keamanan ekonomi, mengancam akan menangkal “koersi ekonomi”, yang secara de facto akan membagi dunia ke dalam dua pasar dan dua sistem pada bidang-bidang seperti semikonduktor dan mineral yang sangat krusial dengan dalih untuk mengurangi ketergantungan pada China.

Seperti dilaporkan harian Financial Times, “koordinasi terkait China tersebut merupakan hasil dari upaya pemerintahan Biden selama dua tahun, yang dibantu oleh Jepang.” AS merupakan dalang utama dalam memperdaya para sekutunya untuk memutuskan hubungan dari China, yang merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip perdagangan bebas dan ekonomi pasar serta akan membahayakan pembangunan ekonomi global.

Kerugian jangka panjang fragmentasi perdagangan ini dapat mencapai hingga 7 persen dari output global dan beberapa negara akan menanggung kerugian hingga 12 persen Produk Domestik Bruto (PDB) jika terjadi pemisahan (decoupling) teknologi tambahan, kata Dana Moneter Internasional (IMF) dalam sebuah laporan pada Januari.

Banner

AS telah berupaya mengancam perekonomian China melalui berbagai cara termasuk perang dagang, namun perdagangan China-AS yang terus berkembang dengan sendirinya menunjukkan bahwa kalangan bisnis dan rakyat AS membutuhkan jalinan perdagangan dengan China, ujar Kazuteru Saionji, profesor tamu (visiting professor) di Universitas Internasional Higashi Nippon, kepada Xinhua dalam sebuah wawancara belum lama ini.

“Dengan menyeret blok G7 untuk menekan China di bawah dalih menghilangkan risiko (de-risking) kali ini, negara itu melakukan tindakan kejam yang secara sengaja merusak perdagangan bebas dan pembagian sistem tenaga kerja ekonomi dunia,” kata profesor tersebut.

Beberapa tahun terakhir ini, G7, yang juga dikenal sebagai “klub negara kaya”, mengalami penurunan kekuatan nasional yang tidak dapat dipulihkan lagi. Surat kabar Jepang Nihon Keizai Shimbun melaporkan bahwa pangsa G7 dalam perekonomian global telah menyusut dari hampir 70 persen pada 1980-an menjadi sekitar 40 persen saat ini, yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti menurun.

G7
Orang-orang berunjuk rasa dalam aksi protes menentang KTT Kelompok Tujuh (G7) di Hiroshima, Jepang, pada 19 Mei 2023. KTT tahunan para pemimpin G7 berlangsung di Hiroshima pada Jumat (19/5) di tengah gelombang protes. (Xinhua/Zhang Xiaoyu)

G7, dengan daya ekonomi yang melemah secara signifikan, tidak dapat mewakili dunia, tetapi mereka telah gagal menghadapi tren umum saat ini dan terpaku pada mentalitas Perang Dingin, tutur sejumlah pengamat politik Jepang.

“G7 telah merosot menjadi sekelompok negara kuno yang berpegang teguh pada apa yang disebut sebagai tatanan politik internasional yang mapan,” kata Atsushi Koketsu, profesor emeritus di Universitas Yamaguchi Jepang. Sang profesor menambahkan bahwa dengan masyarakat internasional yang bergerak maju menuju pluralisme, upaya tak kenal lelah G7 untuk melawan tren saat ini dipastikan akan menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat internasional.

“Era ketika AS dan negara-negara G7 lainnya mengendalikan politik, ekonomi, dan militer dunia telah berakhir,” tutur Saionji.

Banner

Upaya memecah belah dunia

G7 juga bertekad memperberat sanksi terhadap Rusia dan mengintensifkan dukungan diplomatik, keuangan, kemanusiaan, dan militer untuk Ukraina, serta mengecam Rusia dengan ungkapan paling keras dalam Komunike Para Pemimpin G7 Hiroshima yang dirilis pada Sabtu.

Kumiko Haba, profesor di Universitas Kanagawa, menyatakan bahwa AS mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari krisis Ukraina, yang telah mengonsolidasikan hegemoninya dengan mengambil posisi yang menguntungkan dalam bidang militer, ekonomi, dan politik internasional selama krisis tersebut.

Terkait isu Ukraina, China selalu mendorong perundingan damai sementara G7 menghambat upaya China, ujar Koketsu, seraya menambahkan bahwa tampaknya, selama G7 bersikeras memberikan bantuan militer untuk Ukraina, konflik dan ketegangan akan terus berlanjut.

G7
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menghadiri upacara venue untuk ajang World Expo 2025 di pulau artifisial Yumeshima Osaka di Osaka, Jepang, pada 13 April 2023. (Xinhua/Zhang Xiaoyu)

Sebelum KTT G7 digelar, Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida menyampaikan dalam sebuah wawancara dengan media setempat bahwa China dan Rusia tidak boleh diperkenankan mengubah status quo tersebut secara sepihak, sebuah sikap yang secara luas dipertanyakan dan ditolak oleh para akademisi dan analis.

Kishida menambahkan bahwa dia memandang KTT itu sebagai sebuah peluang untuk mengirim pesan kepada masyarakat internasional.

Klaim sang pemimpin Jepang yang menyebut bahwa “kontingensi Taiwan adalah kontingensi bagi Jepang” hanyalah mengikuti kebijakan militer AS untuk mengepung China tanpa syarat, mengingat Jepang sedang mendorong integrasi militer dengan AS, ungkap Koketsu.

Banner

Pendapat Koketsu senada dengan Saionji, yang menyatakan bahwa pernyataan yang menyulut krisis semacam itu akan meningkatkan ketegangan di Asia Timur dan menghambat perdamaian regional.

Mengingat negara-negara Asia Timur menentang tindakan yang menghasut konfrontasi dan menciptakan ketegangan regional, siasat AS dan Jepang dalam memanfaatkan masalah Taiwan untuk menyerang China dipastikan akan gagal, ujar Saionji.

Laporan: Redaksi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner

Iklan