Jakarta (Indonesia Window) – Suasana sunyi dan udara dingin semakin terasa ketika tim Explore Indonesia Window memasuki jalan kecil berbatu menuju Curug Cikaung di Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat.
Jalan menanjak yang hanya dialasi kerikil itu membuat kendaraan roda empat kami terengah-engah, apalagi setelah menempuh jarak sekitar 94,8 kilometerdari Jakarta atau sekitar 2 jam 27 menit berkendara. Sementara itu, penumpang yang berada di dalam kendaraan terhempas ke depan dan belakang.
Tak jauh setelah kendaraan kami merayap di jalan berbatu itu, dua air terjun telah tampak meski kami masih berada sekitar 500 meter jauhnya.
Kami seperti memasuki dunia yang lain saat perlahan mendekati Curug Cikaung. Hutan yang lebat dan tebing di hadapan kami seakan memeluk erat kami, sementara jalan yang semakin menanjak ke arah curug seolah menghadang kami agar tak bisa menyentuh dua riam yang mengalir di celah bebatuan yang terbentuk sekira di zaman Miosen (23-5 juta tahun lalu) itu.
Sejenak kami pikir tak ada kawan di tempat elok nan perawan ini. Namun, papan bertuliskan “Wilujeng Sumping” yang menyambut kami beberapa ratus meter dari curug adalah tanda bahwa Curug Cikaung memang telah menjadi lokasi wisata.
Hamparan sawah pada bagian kontur yang agak landai juga meyakinkan kami bahwa daerah Curug Cikaung bukannya sama sekali belum terjamah. Justru, air yang jatuh hingga membentuk dua air terjun Cikaung, kemudian mengalir melalui saluran-saluran alam beralas bongkah dan kerikil yang rontok dari tebing di sepanjang jalur alirannya telah menopang hidup ribuan warga desa, juga padi dan tanaman lainnya yang menjadi sumber pangan mereka.
Saat menikmati keindahan Curug Cikaung, kami menjumpai Rohim yang tengah menggarap sawah tak jauh dari air terjun.
Batang-batang padi hijau dan air yang menggenangi sawah garapan lelaki bertubuh kekar itu menunjukkan bahwa Desa Bantar Karet tak pernah kesulitan air karena sumber-sumber yang begitu dekat dengan kehidupan mereka.
“Sawah ini diairi dari air terjun di atas itu dan terus mengalir ke sawah-sawah di desa-desa lain,” kata Rohim yang menggarap lahan persawahan milik seorang warga lokal yang biasa dipanggil Haji Sama.
Harmoni selama bertahun-tahun antara alam dan ribuan manusia yang mendiami Desa Bantar Karet, terutama mereka yang mendiami area di sekitar Curug Cikaung menjadikan daerah ini bagian dari taman bumi atau Geopark Nasional Pongkor yang ditetapkan oleh pemerintah pada November 2018.
Geopark Pongkor
Curug Cikaung hanya bagian kecil dari Geopark Nasional Pongkor seluas 132.493 hektare yang meliputi 15 kecamatan yaitu Nanggung, Cigudeg, Tenjo, Tenjolaya, Leuwiliang, Leuwisadeng, Ciampea, Ciseeng, Jasinga, Pamijahan, Parung, Rumpin, Sukajaya, Tamansari, dan Cibungbulang.
Di 15 kecamatan tersebut ada 172 desa yang masyarakatnya secara alamiah berinteraksi dengan keanekaragaman geologi, bahkan bergantung pada keanekaragaman hayati sembari menjaga alam yang menyangga kehidupan mereka secara turun temurun.
Meski sebagian besar Geopark Pongkor memperlihatkan suasana yang sepi, morfologinya adalah hasil dinamika tektonik sejak awal Zaman Miosen hingga Kuarter (23 juta – 600 ribu tahun lalu).
Sepanjang jutaan tahun itu daerah Pongkor terangkat oleh gaya-gaya bumi yang super kuat, sementara gunung api memuntahkan lava dan lahar hingga terbentuk batuan yang kaya mineral, termasuk endapan emas yang kini ditambang oleh PT Aneka Tambang.
Cebakan-cebakan emas itu, oleh para ahli bumi dan penambang dikenal sebagai endapan emas Tipe Pongkor.
Batuan yang kaya mineral tersebut adalah “hadiah” alam lainnya bagi manusia.
Sebuah ayat Al-Quran berbunyi, “Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kau dustakan?”
Laporan: Redaksi Explore Indonesia Window